Kamis, 29 November 2012

PENDIDIKAN INKLUSIF DI INDONESIA: AKAR MASALAH DAN SOLUSINYA

Abstrak

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua siswa yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Pendidikan inklusif menghendaki jaminan pendidikan bagi semua siswa tanpa terkecuali. Namun, pendidikan inklusif di Indonesia tidak dapat diterapkan secara maksimal. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa ada 70% Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang tidak memperoleh jaminan pendidikan. Kondisi tersebut disebabkan oleh banyak permasalahan penyelenggaran pendidikan inklusif di antaranya: pemahaman dan kemampuan menerapkan pendidikan inklusif yang rendah, kurikulum yang masih kaku, kurangnya anggaran, paradigma masyarakat yang kurang kondusif, dan praktik korupsi di lingkungan pendidikan. Masalah-masalah tersebut pada dasarnya berakar pada rendahnya komitmen dan kemampuan para praktisi dan para pengambil kebijakan pendidikan. Kegiatan studi banding dan pelatihan dapat menjadi solusi untuk mengatasi akar masalah pendidikan inklusif di Indonesia. Studi banding ke negara-negara yang sukses dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat meningkatkan kesadaran dan wawasan mengenai pendidikan inklusif. Selain studi banding, kegiatan pelatihan juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kemampuan dan komitmen para praktisi dan para pengambil keputusan pendidikan. Komitmen para praktisi dan pengambil kebijakan dapat meningkat apabila program pelatihan pendidikan inklusif memuat internalisasi nilai-nilai inklusif.

Kata-kata kunci: Pendidikan Inklusif, Akar Masalah dan Solusi

Pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya (Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Ps 1). Pendidikan inklusif dirancang untuk menghargai persamaan hak masyarakat atas pendidikan tanpa membedakan usia, jender, etnik, bahasa, kecatatan, dll. Pendidikan inklusif mulai ramai dibicarakan setelah adanya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok. Hasilnya ialah deklarasi ialah education for all atau pendidikan untuk semua. Sebagai tindak lanjut Deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’The Salamanca Statement on Inclusive Education’. Dokumen ini mengakui hak asasi dari semua anak-anak untuk pendidikan yang inklusif. Ada 193 negara yang telah menandatangani Konvensi tentang Hak-hak Anak dan juga telah setuju untuk terikat dengan isi dari konvensi ini. Hasilnya, beberapa negara telah membuat kemajuan yang signifikan terbukti dari cara setiap negara mempromosikan pendidikan inklusif dalam perundang-undangan nasional mereka, contohnya termasuk Kanada, Siprus, Denmark, Islandia, India, Luksemburg, Malta, Belanda, Norwegia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Uganda, Inggris, Amerika Serikat, dan Italia. Selain itu, Hukum yang ada di negara Italia telah mendukung pendidikan inklusif sejak tahun 1970-an (Lukman Hidayat, 2010). Di Indonesia, proses menuju pendidikan inklusif dimulai pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan organisasi pada tunanetra sebagai satu kelompok penekan. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktikkan. Menjelang akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dengan program pendidikan integrasi yang nyaris mati, perhatian diberikan pada sustainabilitas program pengimplementasian pendidikan inklusif (Firdaus, 2010:7).

Pendidikan inklusif memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu menghapus diskriminasi pendidikan atas siswa yang memiliki kelainan dan keistimewaan. Sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Ps 2, pendidikan inklusif bertujuan: (1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; dan (2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Namun dewasa ini, tujuan pendidikan inklusif tidak mudah untuk diraih. Kesulitan untuk meraih tujuan pendidikan inklusif tersebut tentu disebabkan oleh hambatan atau permasalahan dalam penyelenggaran pendidikan inklusif. Apa saja permasalahan penyelenggaraan pendidikan inklusif, apa yang menjadi akar permasalahannya dan bagaimana tindakan yang seharusnya dilakukan, akan dibahas berikut ini.

Benang Kusut Pendidikan Inklusif 
Saat ini, implementasi pendidikan inklusif di Indonesia mengalami kemrosotan. Data dari tahun 2005 hingga tahun 2007 menunjukkan bahwa selisih antara jumlah sekolah inklusif dan jumlah siswa semakin besar. Pada tahun 2005 jumlah siswa 6000 orang dan jumlah sekolah inklusif 504 sekolah. Pada tahun 2006 jumlah siswa 9.492 dan jumlah sekolah inklusif sebanyak 600 sekolah. Sedangkan pada tahun 2007, jumlah siswa mencapai 15.181 tetapi jumlah sekolah inklusif hanya mencapai 796 sekolah. Sementara itu, jumlah penyandang cacat usia sekolah di Indonesia 1,5 juta, maka jumlah anak yang berkelainan yang terlayani oleh sekolah inklusif baru mencapai 1 %. Jumlah SD inklusif hanya mencapai 0,44% (Sunaryo, 2009:8). Hingga pada tahun 2008, jumlah sekolah inklusif secara nasional dari SD hingga SMA hanya 254 sekolah. Meskipun kegiatan sosialisasi, pemberian bantuan operasional, dan pelatihan telah banyak dilakukan, tingkat penerimaan sekolah reguler untuk menerima Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) masih sangat rendah. Pada tahun 2010 angka partisipasi murni ABK untuk jenjang pendidikan dasar baru mencapai 30% (http://www.pk-plk...-terima.html). Dengan demikian, jumlah ABK yang belum merasakan jaminan pendidikan masih cukup banyak, yaitu 70%. Dika (2010) mengungkapkan hambatan-hambatan yang tengah dihadapi dalam implementasi pendidikan inklusif sebagai berikut: 1. Kurikulum yang tersusun kaku dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak yang berbeda. Banyak negara mendorong kebutuhan pendidikan dasar tanpa memerhatikan isu pendidikan anak berkebutuhan khusus. Namun, pendidikan inklusi tidak kemudian mensyaratkan kurikulum yang terpisah karena itu justru akan menciptakan segregasi.Kurikulum pendidikan inklusi harus masuk dalam kurikulum arus utama. Inisiatif para stakeholders, guru dan sekolah, serta masyarakat masih parsial terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi, sehingga akses Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengenyam pendidikan masih begitu sempit. 2. Kebijakan yang kurang mendukung. Kebijakan pemerintah tidak memisahkan komponen pendidikan khusus ini, harusnya tidak lagi dibedakan. Pendidikan inklusi sudah bukan lagi tambahan, tetapi masuk dalam pengaturan umum. 3. Kurangnya ketersediaan anggaran. Minimnya anggaran yang disediakan pemerintah adalah sisi lain akibat tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah. 4. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM). 5. Paradigma/Pandangan Masyarakat Terhadap Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horizontal maupun vertical. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan yang terbatas ini sering termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan pendidikan ini memang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Kita harus meninggalkan persepsi konvensional bahwa anak dengan berkebutuhan terbatas misalnya untuk anak tuna netra hanya dicetak menjadi Tukang Pijat.

Berdasarkan hasil penelitian Sunardi (dalam Sunaryo, 2009:10-12) terhadap 12 sekolah penyelenggara inklusif, secara umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak menghambat, implementasinya tidak bias, atau bahkan menggagalkan pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu: pemahaman dan implementasinya, kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support system. Salah satu bagian penting dari support system adalah tentang penyiapan anak. Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut:
  1. Pemahaman inklusi dan implikasinya a. Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right dan kemudahan access education, dan againt discrimination. b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah. c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan. 
  2. Kebijakan sekolah a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait. b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus. 
  3. Proses pembelajaran a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi. b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran. c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar. d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, sumber dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak. e. Belum adanya panduan yang jelas tentang sistem penilaian. Sistem penilaian belum menggunakan pendekatan yang fleksibel dan beragam. f. Masih terdapat persepsi bahwa sistem penilaian hasil belajar ABK sama dengan anak normal lainnya, sehingga berkembang anggapan bahwa mereka tidak menunjukkan kemajuna belajar yang berarti. 
  4. Kondisi guru a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children. b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK. c. Belum didukung dengan kejelasan aturan tentang peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing guru. d. Pelaksanaan tugas belum disertai dengan diskusi rutin, tersedianya model kolaborasi sebagai panduan, serta dukungan anggaran yang memadai. 5. Sistem dukungan a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi - LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas. b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya. c. Peran SLB yang diharapkan mampu berfungsi sebagai resource centre bagi sekolah-sekolah inklusi di lingkungannya, belum dapat dilaksanakan secara optimal, baik karena belum adanya koordinasi dan kerja sama maupun alasan geografik. Peran ahli yang diharapkan dapat berfungsi sebagai media konsultasi, advokasi, dan pengembangan SDM sekolah masih sangat minimal. LPTK PLB dalam diseminasi hasil penelitian, penelitian kolaborasi maupun dalam implementasi terhadap hasil-hasil penelitaian belum dapat diwujudkan dengan baik. Peran pemerintah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam mendorong implementasi inklusi secara baik dan benar melalui regulasi aturan maupun. 
Rudiyati (2011:17) mengungkapkan bahwa kompetensi guru dalam sekolah inklusif belum memadai. Kompetensi guru yang belum memadai pada sekolah inklusif mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
  1. Komponen kompetensi pedagogik, yang antara lain: menguasai karakteristik peserta didik yang berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dari aspek fisik, moral, sosial, cultural, emosional, dan intelektual. Pada umumnya guru sekolah inklusif belum secara memadai melakukan identifikasi dan atau asesmen terhadap karakteristik peserta didik yang berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. Hal ini masih dilakukan sepenuhnya oleh Guru Khusus/ Guru Pembimbing Khusus; yang seharusnya dilakukan bersama-sama; sehingga hasil identifikasi dan asesmen tersebut dapat ditindaklanjuti dengan penyusunan rencana pendidikan individual bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus yang bersangkutan. Pelaksanaan program pendidikan individual bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus dilakukan secara bersama oleh guru umum/reguler dan Guru Pendidikan Khusus/Guru Pembimbing Khusus di kelas reguler/inklusif maupun di ruang sumber/ruang bimbingan khusus. 
  2. Komponen kompetensi kepribadian, antara lain: menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat; serta dalam memperlakukan peserta didik yang berkelainan /berkebutuhan khusus. Pada umumnya para guru umum/reguler dalam sekolah inklusif cenderung melindungi secara berlebihan terhadap anak berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus; atau sebaliknya mengangap bahwa mereka tidak mampu mengikuti kegiatan pembelajaran, sehingga kurang melibatkan yang bersangkutan secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. 
  3. Komponen kompetensi sosial, antara lain: bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif terhadap peserta didik yang berkelainan/ berkebutuhan pendidikan khusus; karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi. Pada umumnya para guru umum/reguler dalam sekolah inklusif masih cenderung tidak objektif dan diskriminatif dalam memberikan kesempatan berpartisipasi dalam pembelajaran bagi anak berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. 
  4. Komponen kompetensi profesional, antara lain: mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif; mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri dalam pembelajaran peserta didik yang berkelainan/berkebutuhan pendidikan khusus. 

Selain itu, maraknya praktik korupsi tentu menghambat implementasi pendidikan inklusif yang optimal. Di tingkat pusat, praktik korupsi sungguh memprihatinkan karena merugikan keuangan negara yang tidak sedikit. Suyatno (2012) mengungkapkan bahwa pada tahun 2012 ini anggaran pendidikan meningkat menjadi Rp. 286,56 triliun atau sekitar 20,20% dari total APBN Rp 1.418,49 triliun (tahun 2011 anggaran pendidikan 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total APBN Rp. 1.229,56 triliun). Tapi berapa persen anggaran yang betul-betul termanfaatkan sekolah-sekolah dan dapat dinikmati siswa untuk meningkatkan pendidikan? Dana dan sumber daya yang demikian besar ternyata bukan untuk membangun dunia pendidikan Indonesia, tapi patut diduga masuk kantong oknum pejabat, oknum anggota DPR dan makin membesarkan kekuatan keluarga mafia (yang entah sengaja atau tidak) menyebabkan hancurnya negara ini dengan adanya kehancuran dunia pendidikan. Dari beberapa berita tampak, misalnya Dana Alokasi Khusus (DAK) di suatu kabupaten yang nilainya 140 M, sebesar 70 M diduga menguap alias dikorupsi.

Akar Masalah dan Solusi 
 Uraian di atas memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa pelaksanaan pendidikan inklusi di Indonesia masih dihadapkan kepada berbagai isu dan permasalahan yang cukup kompleks. Permasalahan yang muncul bukan hanya di tingkat sekolah saja tetapi di tingkat pusat pun sudah bermasalah. Di tingkat sekolah, tidak semua guru dan kepala sekolah memahami dan mampu menerapkan pendidikan inklusif. Akibatnya kebijakan sekolah menjadi tidak tepat, dan proses pembelajaran menjadi tidak efektif. Sementara itu para pembuat kebijakan di tingkat “atas” malah berebut uang negara lewat jalan korupsi. Pada dasarnya akar masalah pendidikan inklusif di Indonesia ialah terkait dengan rendahnya komitmen dan kemampuan para praktisi dan pengembil kebijakan pendidikan. Komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif harus diperbaiki. Perlu adanya kesadaran yang mendalam tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan inklusif secara bersih tanpa ada niatan kotor. Selain komitmen, akar permasalahan pendidikan inklusif ialah rendahnya kemampuan praktisi dan pemerintah. Praktisi kurang mampu menyelenggarakan pendidikan inklusif dan pemerintah kurang mampu dalam memonitor pendidikan inklusif.

Monitoring dan evaluasi (monev) pendidikan inklusif merupakan hal penting mengingat hasil monev dapat dijadikan rujukan dalam membuat langkah-langkah strategis. Selain itu, hasil monev merupakan bahan untuk peninjauan kembali kebijakan di tingkat sekolah, perumusan model-model inklusif, penggiatan program pendampingan, pemberdayaan LPTK PLB sebagai pusat sumber dan dalam pendampingan, mengganti pola penataran pelatihan guru dari model ceramah kepada model lesson study atau minimal memasukkan lesson study sebagai bagian inti dari penataran-pelatihan guru, pembuatan buku-buku pedoman, serta menggalakkan program sosialisasi dan desiminasi. Komitmen dan kemampuan para praktisi dan pengambil keputusan harus diperbaiki untuk mengatasi masalah penyelengaraan pendidikan inklusif. Komitmen penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat ditingkatkan melalui upaya melibatkan stakeholder dalam setiap pengambilan keputusan, penegakan hukum, dan internalisasi nilai-nilai inklusif. Nilai-nilai inklusif misalnya; persamaan hak, pendidikan untuk semua, penghargaan, dll.

Sementara itu, kemampuan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat ditingkatkan melalui studi banding dan program pelatihan.. Misalnya studi banding ke propinsi Anhui, Cina. Pelatihannya perlu dilakukan di Indonesia agar lebih memahami kondisi nyata di Indonesia. Menurut Stubbs (2002:71-72), propinsi Anhui di Cina merupakan contoh yang baik untuk kebijakan pemerintah yang memfasilitasi inklusif. Anhui adalah satu propinsi yang miskin dengan penduduk 56 juta orang, dan untuk mencapai pendidikan untuk semua, mereka mengakui bahwa anak-anak penyandang cacat perlu diinklusikan. Program perintis pendidikan inklusif di Anhui mendorong terjadinya perubahan-perubahan: (1) anak belajar aktif; (2) terjalin kerjasama yang lebih erat dengan keluarga; (3) dipergunakan pendekatan seluruh sekolah dan dukungan belajar antar teman sebaya; (4) dukungan dari administrator dan masyarakat setempat melalui pembentukan komita; (5) pelatihan guru berbasis sekolah yang berkesinambungan; dan (6) pengintegrasian anak tunagrahita secara bertahap.

Kesimpulan 
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan pendidikan inklusif belum menunjukkan hasil yang memuaskan. 2. Terdapat banyak kendala yang harus dihadapi untuk mengoptimalkan pendidikan inklusif. 3. Akar permasalahan pendidikan inklusif ialah kurangnya komitmen sekaligus kemampuan para praktisi dan pengambil kebijakan pendidikan. 4. Solusinya yang dapat dilakukan ialah menyelenggarakan pelatihan dan studi banding bagi praktisi dan pengambil kebijakan pendidikan ke negara-negara yang sukses dalam penyelenggaran pendidikan inklusif.



DAFTAR PUSTAKA
  1.  Anonim. 2009. Pendidikan Inklusi Masih Banyak Kendala, (Online), Available at: http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=499:pendidikan-inklusi-masih-banyakkendala&catid=117:terkini&Item id=136, diakses 13 November 2012. 
  2. Dika. 2010. Pendidikan Inklusi, (Online). Available at: http://dika96. wordpress.com/2010/11/29/pendidikan-inklusi/. Diakses pada tanggal 14 November 2012. Firdaus, Endis. Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia. Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, 24 Januari 2010. 
  3. Hidayat, Lukman. 2010. Sejarah Pendidikan Inklusif di Benua Eropa, (Online). Available at: http://inklusiuntuksemua.blogspot.com/2010/12/sejarah-pendidikan-inklusif-di-benua.html. Diakses 14 November 2012. 
  4. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. 
  5. PK-PLK. 2012. Kepala Daerah Terima Inclusive Education Award bersama Tokoh Pendidikan Lainnya, (Online). Available at: http://www.pk-plk.com/2012/09/siaran-pers-9-kepala-daerah-terima.html#!/2012/09/siaran-pers-9-kepala-daerah-terima.html. Diakses pada tanggal 14 November 2012. 
  6. Rudiyati, Sari. Potret Sekolah Inklusif di Indonesia. Makalah disampaikan dalam seminar umum “Memilih Sekolah yang Tepat Bagi Anak Berkutuhan Khusus” pada Pertemuan Nasional Asosiasi Kesehatan Jiwa dan Remaja (AKESWARI) pada tanggal 5 Mei 2011 di Hotel INA Garuda Yogyakarta. 
  7. Sunaryo. 2009. Manajemen Pendidikan Inklusif. Makalah Jurusan PBL. Bandung: UPI. Suyatno. 2012. Benang Kusut Pendidikan Indonesia, (Online). Available at: http://www.umm.ac.id/en/detail-4-benang-kusut-pendidikan-indonesia-opini-umm.html. Diakses 14 November 2012. 
  8. Stubbs, Sue. 2002. Pendidikan Inklusif: Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber. Terjemahan oleh Susi Septaviana R. 2002. Bandung: UPI.

4 komentar:

  1. terimakasih infonya sangat membantu saya guru SPI

    BalasHapus



  2. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp35 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    BalasHapus