Kamis, 29 November 2012

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

Indonesia memiliki aneka ragam suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Aneka ragam suku bangsa juga diikuti dengan aneka ragam budaya dan bahasa sehingga menjadikan bangsa Indonesia rawan akan perpecahan. Kondisi seperti inilah yang menginspirasi penjajah untuk melancarkan strategi ‘adu dombanya’ sehingga bangsa Indonesia terjajah hingga 353,5 tahun oleh Belanda dan Jepang. Kemerdekaan yang kita nikmati tidak lepas dari bahasa Indonesia sebagai pemersatu yang menghubungkan cita-cita suku bangsa sehingga menjadi satu bangsa yang utuh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peranan bahasa bagi bangsa Indonesia juga sebagai sarana utama untuk berpikir dan bernalar. Dengan bahasa ini pula manusia menyampaikan hasil pemikiran dan penalaran, sikap, serta perasannya. Bahasa juga berperan sebagai alat penerus dan pengembang kebudayaan sehingga nilai – nilai dalam masyarakat dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Bahasa Indonesia tidak lah ada dengan sendirinya dan memiliki sejarah yang panjang. Namun tidak semua putra bangsa mengetahui sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Meminjam istilah bung Karno, “Jas Merah”, jangan pernah sekali-kali meninggalkan sejarah. Kita tidak akan mencintai apa yang ada hari ini tanpa melihat sejarah yang terjadi kemarin. Dengan memahami sejarah dan perkembangan bahasa kita akan menghargai bahasa ini dengan meneruskan cita-cita luhur bangsa.

Perkembangan Bahasa Indonesia Berdasarkan Prasasti
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah; (1) Kedukan Bukit (683 Masehi), (2) Talang Tuwo (684 Masehi), (3) Kota Kapur (686 Masehi), (4) Karang Brahi (686 Masehi), (5) Gandasuli (832 Masehi), (6) Bogor (942 Masehi), dan (7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24).
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Selatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja.
Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Masa Kerajaan Malaka, sekitar abad ke-15. Sejarah Melayu karya Tun Muhammad Sri Lanang adalah peninggalan karya sastra tertua yang ditulis pada masa ini. Sekitar tahun 1521, Antonio Pigafetta menyusun daftar kata(semacam kamus) Italy-Melayu yang pertama. Daftar itu dibuat di Tidore dan berisi kata-kata yang dijurnpai di sana.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan bahwa Bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya).
Banyak yang menyimpulkan pada saat itu Bahasa Melayu telah Berfungsi sebagai :
1. Bahasa Kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.
2. Bahasa Perhubungan (Lingua Franca) antar suku di Indonesia.
3. Bahasa Perdagangan baik bagi suku yang ada di indonesia mapupun pedagang yang berasal dari luar indonesia.
4. Bahasa resmi kerajaan.
Kedudukan Resmi
Bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Bahasa ini sejak dahulu telah digunakan sebagai bahasa perantara atau bahasa pergaulan. Bahasa melayu tidak hanya digunakan di Kepulauan Nusantara, tetapi juga digunakan hampir diseluruh Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia digunakan untuk pertama kalinya dalam acara resmi yaitu pada tanggal 16 Juni 1927 dalam sidang Volksraad, waktu itu Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Namun Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional merupakan usulan dari Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.
Secara Sosiologis kita bisa mengatakan bahwa Bahasa Indonesia resmi di akui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Onktober 1928. Hal ini juga sesuai dengan butir ketiga ikrar sumpah pemuda yaitu “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia diakui pada tanggal 18 Agustus 1945 atau setelah Kemerdekaan Indonesia.
Ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia yaitu :
1. Faktor Historis, Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdangangan.
2. Faktor kesederhanaan sistem. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dielajari karena dalam bahasa melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Faktor Psikologis. Suku jawa, suku sunda dan suku suku yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
4. Faktor kesanggupan, bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru. Pujangga baru adalah nama majalah sastra pada waktu itu yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Perkembangan bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Dan pada tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia dan Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa Negara.

Ejaan Ch. A. van Ophuijsen
Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang distandardisasikan. Keraf (dalam Sri Haryatmo 1988:51) mengatakan bahwa ejaan ialah keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana interrelasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa. Sedangkan ejaan menurut Sri Haryatmo (2009) adalah seperangkat kaidah tulis-menulis yang meliputi kaidah penulisan huruf, kata, dan tanda baca.
Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri dalam menulis huruf, kata dan tanda baca. Tidak ada kesatuan dalam ejaan menjadikan tulisan-tulisan itu menjadi sulit dipahami karena cukup bervariasi. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Ditetapkannya Ejaan van Ophuyson merupakan hal yang sangat bermanfaat pada masa itu.
Ejaan Van Ophuijsen merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen menyusun ejaan ini pada tahun 1896 dengan bantuan Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901 dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
Intervensi pemerintah terhadap bahasa Melayu semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Pada tahun 1910 di bawah pimpinan D.A. Rinkes komisi ini melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.
Kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka banyak menerbitkan karya-karya sastra. Novel-novel yang diterbitkan seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Ejaan Van Ophuisjen tidak sekali jadi tapi tetap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Ciri-ciri dari ejaan Van Ophuijsen yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan dipotong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

Ejaan Suwandi
Pada Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang.
Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.
Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Republik. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitia dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Pada tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1972 melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR.
Sebelumnya pada tanggal 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama telah ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia pada masa itu, Tun Hussien Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden No. 57, Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin (Rumi dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) bagi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Di Malaysia ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB).
Pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:
* 'tj' menjadi 'c' : tjutji → cuci
* 'dj' menjadi 'j' : djarak → jarak
* 'oe' menjadi 'u' : oemoem -> umum
* 'j' menjadi 'y' : sajang → sayang
* 'nj' menjadi 'ny' : njamuk → nyamuk
* 'sj' menjadi 'sy' : sjarat → syarat
* 'ch' menjadi 'kh' : achir → akhir
* awalan 'di-' dan kata depan 'di' dibedakan penulisannya. Kata depan 'di' pada contoh "di rumah", "di sawah", penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara 'di-' pada dibeli, dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Ada peristiwa penting yang mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Kemudian tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
Kongres Bahasa Indonesia ke-V diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d. November 1988. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

KESIMPULAN
Bahasa Indonesia merupakan suatu varian bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa resmi kerajaan sriwijaya. Sampai sekarang terus mengalami perkembangan.
Bahasa Indonesia resmi digunakan pada peristiwa sumpah pemuda atas usul Muhammad Yamin. Hingga kini Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan berada di atas bahasa-bahasa daerah dan Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ejaan Bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Dari ejaan Van Ophuisjen, ejaan Suwandi dan sampai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah sejarah penyempurnaan Bahasa Indonesia yang terus mengikuti zaman.

SARAN
Bahasa Indonesia adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan tak ternilai harganya. Oleh karena itu, kita sebagai warga Negara harus menjaganya dengan cara mencintai dan mengembangkannya melalui seni bersastra.
Pemerintah hendaknya melakukan upaya penelitian secara lebih mendalam lagi mengenai sejarah bahasa Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar