Selasa, 19 Agustus 2014

Undangan Rapat Pengurus Alumni STKIP Islam Bumiayu

SEmangat Pagi !
Yth Pengurus Alumni Ikatan Alumni STKIP Islam Bumiayu, mohon kehadirannya pada acara Rapat Program Kepengurusan yang insya Allah akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal: Jum’at, 22 Agustus 2014
Pukul : 13.30 WIB
Tempat: Kampus STKIP Islam Bumiayu (Ruangan Menyusul)
Materi Pembahasan: Garis Besar Program Kerja, Perekrutan Anggota Baru dari alumni 2014, dan lain-lain.
Masing-masing Seksi Bidang dimohon membawa rancangan programnya untuk dibahas bersama-sama. Mengingat pentingnya acara tersebut, kami mohon agar datang tepat waktu.
Terima kasih.

Susunan Pengurus Alumni STKIP Islam Bumiayu
Ketua : Mohammad Arifin, S.Pd.
Wakil Ketua : Supriyatna, S.Pd.
Sekretaris I : Wiwin Aryani, S.Pd. (plt)
Sekretaris II : Anah Sofiyani, S.Pd.
Bendahara I : Euis Wulandari, S.Pd.
Bendahara II : Umi Uswatun, S.Pd.

Bidang Pendidikan:
1. Dyah Ayu Retnoningsing, S.Pd.
2. Eka Agustina, S.Pd.

Bidang Hubungan Kerjasama:
1. Riyayah, S.Pd.
2. Dwi Wiwin Istia Haeni, S.Pd.

Bidang Informasi & Komunikasi
1. Shobirin, S.Pd.
2. Efa Marina, S.Pd.
3. Nurida Fajarsari, S.Pd.
4. Khomarudin, S.Pd.

NB: Bagi yang di luar kota dan luar negeri mohon tetap menyumbangkan ide dan pemikirannya melalui seksi bidang masing-masing.

Sabtu, 01 Desember 2012

Pemimpin Nasional yang Memandirikan Bangsa



Di abad 21 ini, penguasaan suatu negara atas negara lain tidak dilakukan secara langsung dengan mengangkat senjata dan menembaki penduduk negeri. Tetapi sudah sangat halus yaitu dengan menciptakan ketergantungan di bidang ekonomi yang menular pada bidang sosial dan politik. Hal ini lebih membahayakan karena penjajahan ekonomi dengan cara ini akan mengaburkan indikasi kejahatannya. Seakan-akan baik namun ternyata mencengkram dan menghisap kekayaan yang mengakibatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial di tengah limpahan kekayaan sumber daya alam.
Marilah kita perhatikan bangsa Indonesia yang kaya raya akan keragaman budaya, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Indonesia yang dikenal dengan sebutan zamrud khatulistiwa memiliki wilayah yang luas dan subur serta memiliki banyak sekali cawan-cawan emas (golden bowls) yang bernilai ratusan miliar dolar. Namun, luasnya wilayah dan limpahan kekayaan alam tidak menghilangkan angka kemiskinan yang sangat besar, pendidikan berkualitas semakin mahal,  kriminalitas meningkat, dan disintegrasi bangsa di beberapa daerah tak kunjung selesai. Selain itu di tengah kinerja pejabat publik yang rendah, penjarahan kekayaan negara melalui korupsi begitu akut dan sistemik dilakukan oleh segelintir  elite bangsa baik di pusat maupun di daerah.
Di tengah kondisi yang serba sulit, pemimpin kita malas berfikir dan menggantungkan hutang pada bangsa lain sehingga menimbulkan ketergantungan ekonomi. Para amangkurat  telah berhasil menukar undang-undang dengan uang pinjaman recehan. Contohnya; Undang-Undang Migas, Undang-Undang Privatisasi Air dan Undang-Undang Privatisasi BUMN. Akibatnya, 85,4% perusahaan energi berupa batu bara, minyak bumi dan gas alam dikuasai oleh asing. Kemudian anak-anak bangsa juga menderita dalam kemiskinan sehingga terpaksa harus rela menjadi budak orang di luar negeri. Tidak sedikit dari mereka yang pulang membawa derita.
Padahal cita-cita kemerdekaan mengamanatkan kita agar menjadi bangsa yang mandiri. Suatu bangsa akan mandiri jika pemimpinnya memiliki independensi dalam berfikir dan bertindak. Pemimpin berani mengelola sumber daya sendiri dan memilih jalan sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan. Sebagai contoh ialah bangsa jepang yang setelah luluh lantah karena bom kini telah bangkit menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Prestasi itu terwujud berkat pemimpinnya yang memiliki semangat kemandirian yang cukup besar.
Pada dasarnya banyak teori kepemimpinan yang menyarankan syarat-syarat pemimpin yang baik. Tetapi pemimpin nasional yang mampu memandirikan bangsanya setidaknya memiliki 4 (empat) sifat sebagai berikut ; Yang pertama, Pemimpin yang mampu memandirikan bangsanya ialah pemimpin yang menghidupkan kehidupan rakyatnya. Artinya ia mampu mengatur perekonomian rakyat dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Bukan pemimpin yang patuh di atur oleh Washington consensus dan merelakan rakyatnya menggantungkan hidup pada orang lain. Tetapi pemimpin yang berkarakter dan bangga terhadap budaya dan potensi lokal untuk dikembangkan menjadi kekuatan nasional. Sifat ini pula yang melekat pada diri Gajah Mada, Mahapatih yang mampu menghantarkan Majapahit kepada kajayaan di masanya.
Yang kedua, pemimpin yang memandirikan bangsa ialah pemimpin yang paham dan patuh pada UUD 1945. Sifat ini penting karena upaya mewujudkan kemandirian bangsa merupakan upaya mewujudkan cita-cita nasional dengan cara menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya telah digariskan dalam UUD 1945. Pemimpin nasional harus memahami dan menghayati dasar negara yang merupakan konstitusi dan berkedudukan sebagai hukum tertinggi. Upayanya mencapai kemandirian bangsa harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kerangka bagaimana  menjalankan dan mempertahankan kedaulatan untuk mencapai kemandirian nasional. Oleh karena itulah agenda membangun kemandirian bangsa sesungguhnya dapat dilakukan dengan senantiasa berpegang teguh pada UUD 1945. Hal itu sesuai dengan fungsi konstitusi sebagai kitab suci simbolik yang merupakan dokumen pengendali dan dokumen perekayasa serta pembaruan ke arah masa depan.
Yang ketiga, Pemimpin nasional yang kita butuhkan saat ini untuk memandirikan bangsa ialah pemimpin yang memiliki nasionalisme. Kebanyakan pemimpin yang ada sekarang tidak merasa punya kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya. Kekuasaan dianggapnya sebagai imbalan atas kerja kerasnya selama pemilu. Rakyat hanya dibutuhkan ketika pemilu saja. Hal ini jauh berbeda dengan negara-negara yang maju di Asia Timur, para pemimpinnya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China), semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia), dan alasan survival (Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan).
Oleh karena itu kita membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa nasionalisme. Yang dimaksud nasionalisme di sini bukan nasionalisme yang hanya gencar berteriak membela timnas sepak bola saja tetapi juga memiliki semangat untuk menyelamatkan kekayaan Indonesia dari penjarahan korporasi asing demi mensejahterakan rakyat. Ia juga tegas dalam membela batas wilayah negaranya dan tidak mau dipermainkan oleh bangsa lain. Selain itu, Pemimpin yang memiliki nasionalisme yang kukuh akan membela kehormatan bangsanya walaupun di iming-imingi rayuan manis oleh penjajah modern.
Yang keempat, pemimpin bangsa yang mampu memandirikan bangsa ialah pemimpin yang memiliki semangat berkurban. Saat ini, sangat jarang kita temui pemimpin bangsa yang memiliki semangat berkurban tetapi yang ada adalah keserakahan dan kebakhilan. Indikasinya ialah merebaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di semua lini baik di pusat maupun daerah. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Natsir enam tahun setelah kemerdekaan  bahwa mereka (baca: bangsa Indonesia) bersorak-sorai meski rumah mereka dibakar dan anak istri mereka terbunuh. Tetapi sekarang telah mewabah penyakit bakhil dan serakah, dan tidak mau memperjuangkan cita-cita diluar dirinya lagi. Penyakit ini menular semakin banyak dan membentuk sistem yang akut. Oleh karena itu, spirit berkurban harus mulai ditanamkan kembali demi menghilangkan watak serakah dan bakhil ini.
Ingatlah, Kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi tidak bermakna jika masih bergantung atau menuruti kehendak bangsa lain. Untuk mencapai kemandirian bangsa kita membutuhkan figur pemimpin yang hanya setia mengabdi kepada rakyatnya bukan mengemis utang dengan menggadaikan jutaan nasib rakyatnya pada bangsa lain. Dengan banyaknya media tentu kita bisa menilai mana pemimpin yang sungguh-sungguh pro rakyat dan mana pemimpin yang hanya sekedar pura-pura membela rakyat. Oleh karena itu, pada tahun 2014 nanti kita tidak boleh lagi memberikan mandat kepada pemimpin yang patuh pada bangsa lain tetapi pilihlah pemimpin nasional yang berani mengambil kebijakan yang memandirikan bangsa. 

PROFESI GURU DAN PENGAKUANNYA



Guru sebagai suatu profesi di Indonesia masih dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai seperti profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang belum sepenuhnya profesional. Banyak orang yang beranggapan bahwa pekerjaan guru tidak perlu diakui sebagai pekerjaan profesional. Alasan mereka adalah karena bidang pekerjaan guru dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki pendidikan yang cukup dan sedikit pengalaman mengajar. Selain itu dengan dijadikan guru sebagai bidang pekerjaan profesi maka akan menambah beban negara karena jumlah guru yang sangat besar.
Pendapat di atas tentu kurang bijak. Mengingat pekerjaan guru bukanlah pekerjaan yang mudah karena pendidik harus memahami karakteristik peserta didik, membaca potensinya dan mengembangkanya secara optimal. Tanpa intervensi guru yang profesional potensi peserta didik akan tetap menjadi potensi dan tidak akan muncul ke permukaan. Menurut Oemar Hamalik (2009:6-7) profesi guru hendaknya dilihat dalam hubungan yang luas. Sejumlah rekomendasi dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Peranan pendidikan harus dilihat dalam konteks pembangunan secara menyeluruh, yang bertujuan membentuk manusia sesuai dengan cita-cita bangsa. Pembangunan tidak mungkin berhasil jika tidak melibatkan manusianya sebagai pelaku dan sekaligus sebagai tujuan pembangunan. Sistem pendidikan dirancang dan dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya. Tanpa keahlian yang memadai maka pendidikan sulit berhasil. Keahlian yang dimiliki oleh tenaga kependidikan, tidak dimiliki oleh warga masyarakat pada umumnya, melainkan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang telah menjalani pendidikan guru secara berencana dan sistemik.
2.      Hasil pendidikan memang tak mungkin dilihat dan dirasakan dalam waktu singkat, tetapi baru dapat dilihat dalam jangka waktu yang lama, bahkan mungkin setelah satu generasi. Itu sebabnya proses pendidikan tidak boleh keliru atau salah kendatipun hanya sedikit saja. Kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bukan ahli dalam bidang pendidikan dapat merusak satu generasi seterusnya dan akibatnya akan berlanjut terus. Itu sebabnya tangan-tangan yang mengelola sistem pandidikan dari atas sampai ke dalam kelas harus terdiri dari tenaga-tenaga profesional dalam bidang pendidikan.
3.      Sekolah suatu lembaga profesional. Sekolah bertujuan membentuk anak didik menjadi manusia dewasa yang berkepribadian matang dan tangguh, yang dapat dipertanggungjawabkan, bertanggung jawab terhadap masyarakat dan terhadap dirinya. Para lulusan sekolah pada waktunya harus mampu bekerja mengisi lapangan kerja yang ada. Mereka harus dipersiapkan melalui program pendidikan di sekolah. Mereka tidak cukup waktu dan kemampuan untuk mendidik anaknya sebagaimana yang diharapkan. Sebagian tanggung jawab pendidikan anak-anak tersebut terletak di tangan para guru dan tenaga kependidikan lainnya. Itu sebabnya para guru harus dididik dalam profesi kependidikan, agar memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efisien dan efektif. Hal ini hanya mungkin dilakukan jika kedudukan, fungsi, dan peran guru diakui sebagai suatu profesi.
4.      Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang penuh pengabdian pada masyarakat, dan perlu ditata berdasarkan kode etik tertentu. Kode etik itu mengatur bagaimana seorang guru harus bertingkah laku sesuai dengan norma-norma pekerjaannya, baik dalam hubungan dengan anak didiknya maupun dalam hubungan dengan teman sejawatnya.
5.      Sebagai konsekuensi logis pertimbangan tersebut, setiap guru harus memiliki komepetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi kemasyarakatan. Dengan demikian dia memiliki kewenangan mengajar untuk diberikan imbalan secara wajar sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Dengan demikian seorang calon guru seharusnya telah menempuh program pendidikan guru pada suatu lembaga pendidikan tertentu.
Munculnya pengakuan guru menjadi sebagai pekerjaan profesional tentu didasari alasan tertentu. Alasan tersebutlah yang mendorong masyarakat melakukan profesionalisasi pekerjaan guru. Menurut Mukhtar (2009:125) ada 3 (tiga) alasan mendasar mengapa guru harus menjadi pekerjaan profesional, yaitu:
1.      Karena guru bertanggung jawab menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, beriman, bertaqwa dan berilmu pengetahuan serta memahami teknologi.
2.      Karena guru bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Menyiapkan seorang pelajar untuk menjadi seorang pemimpin masa depan. Student today leader tomorrow.
3.      Karena guru bertanggung jawab atas keberlangsungan budaya dan peradaban suatu generasi. Change of attitude and behavior.
Secara yuridis pengakuan secara pekerjaan profesional diawali dengan keluarnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pada Pasal 39 Ayat (2) yang menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Pasal 39 tersebut di sambut dengan Deklarasi Guru sebagai Bidang Pekerjaan Profesi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 Desember 2004, setelah dua bulan beliau dilantik. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 15 Desember 2005 diterbitkanlah UU Nomor 14  Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen untuk memperkuat pengakuan guru sebagai tenaga profesional.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan mengenai hakikat profesi dan pengakuan profesi guru. Profesi merupakan janji terbuka yang diucapkan dengan sungguh-sungguh di hadapan orang lain, Tuhan dan diri sendiri karena idealisme seseorang untuk mengabdi seumur hidup demi  mencapai kemaslahatan manusia. Kemudian jabatan guru telah mendapatkan pengakuan secara yuridis melalui UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, profesi guru harus mendapatkan tempat yang istimewa dibandingkan dengan posisi pekerjaan lainnya yang bukan pekerjaan profesi. 

SISI LAIN “KEBEBASAN”

Telah lama Bangsa Indonesia menghirup udara kebebasan. Lebih dari setengah abad merah putih telah berkibar dengan gagahnya. Lepas dari belenggu penjajah dan memperoleh kemerdekaan yang mendapat pengakuan secara de facto maupun de yure.
Namun setelah kemerdekaan itu diperoleh, Sistem politiknya lebih didominasi kepentingan kaum penguasa, golongan elite atau pihak-pihak yang “dekat” dengan penguasa. Terutama pada masa orde baru. Kenyataan yang berlangsung puluhan tahun itu membuat rakyat menjadi “bosan” dan akhirnya pada bulan mei 1998 rakyat membuat ekspansi besar-besaran dan mulai menerapkan misi reformasi yang diusungnya.  Yakni, menuntut perbaikan di segala bidang, demokratisasi, dan pengembalian kedaulatan secara penuh kepada rakyat.
Gerakan reformasi yang mengubah system politik korporatis-otoriter menjadi system politik plural-demokratis membuka kesempatan besar bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat baik secara individual  maupun melalui partai politik, organisasi massa ataupun media massa. Aspirasi dan kepentingan   anggota masyarakat menjadi sangat dominan dan amat menentukan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan peraturan public (Undang-Undang Dasar, Undang-Undang hingga Peraturan Daerah dan sebagainya). (Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin : 2006 )
Namun di dalam penyampaian pendapat melalui aktivitas demontrasi dilakukan dengan cara-cara yang tidak santun, cenderung brutal atau bersifat anarkis. Sebagai contoh kasus tewasnya ketua DPRD akibat aksi demontran brutal yang terjadi di salah satu daerah yang menginginkan adanya pemekaran wilayah.
Di lain pihak bentrokan juga kerap terjadi karena kesewenang-wenangan para penguasa daerah. Seperti contoh, kasus kesewengan satpol PP dalam aksi razia Pedagang Kaki Lima (PKL), dan razia Gepeng (gelandangan dan pengemis) yang sering terjadi di beberapa daerah mengakibatkan bentrokan yang merugikan materi bahkan sampai kehilangan nyawa. Bentrokan memperihatinkan yang terjadi baru-baru ini ialah bentrokan antara masyarakat dan Satpol PP di tanjung priuk. Bentrokan mengenai sengketa lahan itu bukan hanya mengakibatkan kerusakan fasilitas Negara tetapi juga mengakibatkan tiga orang tewas di pihak Satpol PP. 
Belum lagi beberapa konflik yang terjadi di antara aparat penegak hukum (TNI dan Polri). Akibatnya, timbul korban berjatuhan, beberapa personil tewas sia-sia di antara anggota TNI dan Polri. Padahal keduanya adalah Alat Negara yang mana kebebasannya dibatasi secara ketat oleh fungsi dan tugas-tugasnya. Di samping itu juga pembinaan pada personel TNI dan Polri tentang cinta tanah air dan nilai-nilai persatuan bangsa serta kedisiplinan  jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pembinaan pada masyarakat sipil. Contoh kasusnya ialah baku-tembak ditahun 2001 antara anggota polri dan anggota kostrad TNI-AD di Madiun. Di tambah kasus bentrokan bersenjata antara Satuan Brimob melawan Linud 100-TNI di Binjai yang mengakibatkan beberapa orang tewas dengan sia-sia. Belum lagi kasus Konflik berdarah di Musi Rawai Propinsi Sumatera Selatan yang menewaskan dua orang pada tahun 2006. Menurut para pengamat militer konflik antara TNI dan Polri terjadi karena belum memadainya kesiapan struktur dan mental, baik dalam tubuh TNI maupun polri pasca penataan structural dan reformasi di antara kedua lembaga tersebut.   

Mengapa konflik-konflik kemanusiaan masih saja terus terjadi padahal kebebasan sudah menjadi milik masyarakat luas…?. 
Kebebasan memang sudah menjadi milik masyarakat luas, namun itu hanyalah kebebasan fisik saja. Banyak manusia terbelenggu oleh nafsunya yang membuat hati menjadi  brutal sehingga membuat manusia jauh dari sifat-sifat mulia. Dr. Ary Ginanjar Agustian menggolongkan belenggu-belenggu yang mengikat hati manusia sehingga cenderung brutal, anarkis, dan egois menjadi tujuh macam belenggu. Belenggu-belenggu itu adalah Prasangka; prinsip hidup; pengalaman; kepentingan; sudut pandang; pembanding, dan literature-literatur.
Prasangka negatif membuat masyarakat menjadi saling menjatuhkan di antara mereka baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Prasangka negative dapat menghilangkan sifat kasih sayang sesama manusia.
Prinsip hidup membuat orang berambisi mengejar apa yang menurutnya dapat mendatangkan kebahagiaan meskipun harus melanggar norma-norma agama. Sebagai contoh, kisah romeo dan julliet yang terjebak ke dalam kubangan cinta semu yang melanggar norma-norma agama. Kemudian kasus pelajar senior STPDN yang mendewakan kedisplinan namun menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga mengakibatkan tewasnya manusia dengan sia-sia.
Pangalaman-pengalaman masa lalu yang mendokrin hati dan pikiran manusia kerap kali membuat kita sulit menerima nilai-nilai kebenaran. Kepentingan hidup yang menjadi prioritas utama sering mengabaikan nilai kebenaran dan keadilan. Sudut pandang yang materialistis mengantarkan manusia pada keinginan untuk menjalani hidup gaya barat yang hedonis. Kebiasaan membanding-bandingkan antara satu dengan yang lainnya membuat hati menjadi iri dan jauh dari sikap bersyukur. Merebaknya literature atau bacaan yang menyesatkan pikiran manusia telah mempengaruhi gaya interaksi di dalam masyarakat. Kesemua belenggu hati dan pikiran yang mengikat pribadi manusia dalam bermasyarakat telah merusak keseimbangan pola interaksi masyarakat yang saling menyayangi.
Untuk lepas dari belenggu yang merampas kebebasan hati dan pikiran manusia maka harus dimunculkan sifat-sifat mulia. Sifa-sifat itu ialah cinta, kasih sayang, kemuliaan, keagungan, kejujuran dan kedamaian. Sifat-sifat mulia seperti itu sebenarnya sudah ada sejak lahir sebagai anugerah Tuhan YME. Namun sifat-sifat itu seakan-akan lenyap  karena tertutupi oleh nafsu yang menguasai diri. 
Apabila setiap diri memahami adanya belenggu yang mengikat hati dan pikiran, yang menjadikan diri bersikap brutal, anarkis dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan kemudian berupaya memunculkan sifat-sifat mulia manusia, Sehingga kita dapat memperoleh kebebasan sejati. Yakni kebebasan fisik dan kebebasan hati dan pikiran. Pada giliranya nanti akan terbentuk pribadi-pribadi mulia yang menentramkan di  dalam pergaulan bermasyarakat dan bernegara.

Kamis, 29 November 2012

Project Based Learning dalam Schoolpreneurship


Salah satu model pembelajaran dalam Schoolpreneurship yang dapat diandalkan ialah model project-based learning. Model ini berasal dari gagasan John Dewey berkaitan dengan konsep “Learning by Doing” yakni proses perolehan hasil belajar dengan mengerjakan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tujuannya, terutama penguasaan siswa tentang bagaimana melakukan sesuatu pekerjaan yang terdiri atas serangkaian tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan. Project-based learning (BIE dalam Waras Khamdi, 2007), adalah model pembelajaran yang berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa bernilai, dan realistik.
I Wayan Santyasa (2006:11) mengidentifikasi bahwa project-based learning memiliki empat karakteristik, yaitu isi, kondisi, aktivitas dan hasil. Berikut deskripsi keempat karakteristik tersebut.
I. ISI: memuat gagasan yang orisinil
  1. Masalah kompleks
  2. Siswa menemukan hubungan antar gagasan yang diajukan
  3. Siswa berhadapan pada masalah yang ill-defined
  4. Pertanyaan cenderung mempersoalkan masalah dunia nyata
II. KONDISI: mengutamakan otonomi siswa
  1. Melakukan inquiry dalam konteks masyarakat
  2. Siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien
  3. Siswa belajar penuh dengan kontrol diri
  4. Mensimulasikan kerja secara profesional
III. AKTIVITAS: investigasi kelompok kolaboratif
  1. Siswa berinvestigasi selama periode tertentu
  2. Siswa melakukan pemecahan masalah kompleks
  3. Siswa memformulasikan hubungan antar gagasan orisinilnya untuk mengkonstruksi ketrampilan baru
  4. Siswa menggunakan teknologi otentik dalam memecahkan masalah
  5. Siswa melakukan umpan balik mengenai gagasan mereka berdasarkan respon ahli atau dari hasil tes
IV. HASIL: produk nyata
  1. Siswa menunjukan produk nyata berdasarkan hasil investigasi mereka
  2. Siswa melakukan evaluasi diri
  3. Siswa responsif terhadap segala implikasi dari kompetensi yang dimilikinya
  4. Siswa mendemonstrasikan kompetensi sosial, manajemen pribadi, regulasi belajar.

Project-based learning merupakan model pembelajaran yang diadaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller dalam Waras Khamdi, 2007). Setelah melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis dididik, pendidikan medis mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan. Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning. Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan medis di negara-negara maju (Waras Khamdi, 2007).
Tujuan model pembelajaran ini ialah melatih kemandirian kepada siswa. Peserta dilatih berfikir kritis, logis dan realistis agar memiliki kemandirian dalam memecahkan masalah seharai-hari. Project-based learning juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mengadakan hubungan dengan sesama siswa (soft skills). Selain itu, Project-based learning juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih bagian pekerjaan kelompok yang sesuai dengan kemampuan, keterampilan, kebutuhan dan minat masing-masing. Dengan demikian bentuk proses project-based learning merupakan bentuk pembelajaran yang otonom dan mandiri. Nilai kemandirian terlihat pada siswa jika Ia yang mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu.
Dalam menerapkan project-based learning, guru harus memperhatikan langkah-langkah implementasinya. Menurut I Wayan Santyasa (2006:12), implementasi project-based learning mengikuti lima langkah utama, yaitu sebagai berikut:
1.      Menetapkan tema proyek
Tema proyek hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) memuat gagasan umum dan orisinil, (b) penting dan menarik, (c) mendeskripsikan masalah kompleks, (d) mencerminkan hubungan berbagai gagasan, (e) mengutamakan pemecahan masalah ill defined.
2.      Menetapkan konteks belajar
Konteks belajar hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) pertanyaan-pertanyaan proyek mempersoalkan masalah dunia nyata, (b) mengutamakan otonomi siswa, (c) melakukan inquiry dalam konteks masyarakat, (d) siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien, (e) siswa belajar penuh dengan kontrol diri, (f) mensimulasikan kerja secara profesional.
3.      Merencanakan aktivitas-aktivitas
Pengalaman belajar terkait dengan merencanakan proyek adalah sebagai berikut: (a) membaca, (b) meneliti, (c) observasi, (d) interview, (e) merekam, (f) mengunjungi obyek yang berkaitan dengan proyek, (g) akses internet.
4.      Memeroses aktivitas-aktivitas
Indikator-indikator memeroses aktivitas meliputi antara lain: (a) membuat sketsa, (b) melukiskan analisa, (c) menghitung, (d) men-generate, (e) mengembangkan prototipe.
5.      Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek
Langkah-langkah yang dilakukan, adalah: (a) mencoba mengerjakan proyek berdasarkan sketsa, (b) menguji langkah-langkah yang telah dikerjakan dan hasil yang diperoleh, (c) mengevaluasi hasil yang telah diperoleh, (d) merevisi hasil yang telah diperoleh, (d) melakukan daur ulang proyek yang lain, dan (e) mengklasifikasi hasil terbaik.
Adria Steinberg (dalam  Patton, 2012:40) telah mengembangkan seperangkat prinsip untuk membuat desain  dalam project-based learning, dikenal dengan istilah The Six As. Prinsip ini sangat berpengaruh dalam menentukan level kualitas desain suatu proyek. Keenam prinsip itu adalah: (1) Authenticity (keautentikan); (2) Academic Rigor (ketaatan terhadap nilai akademik), (3) Applied Learning (belajar pada dunia nyata), (4) Active Exploration (aktif meneliti), (5) Adult Relationship (hubungan dengan ahli), dan (6) Assessment (penilaian).
Berikut ini beberapa pertanyaan penuntun menurut Made Wena (2010:151), yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mendesain suatu proyek.
Langkah-Langkah
Pertanyaan Penuntun
Keautentikan
  • Apakah proyek-proyek tersebut mengacu pada permasalahan yang bermakna bagi siswa ?
  • Apakah masalah tersebut mungkin secara nyata dapat dikerjakan oleh siswa ?
  • Apakah siswa dapat menciptakan atau menghasilkan sesuatu, baik sebagai pribadi maupun kelompok di luar lingkungan ?
Ketaatan terhadap nilai akademik
  • Apakah proyek tersebut dapat membantu atau mengarahkan siswa untuk memperoleh dan menerapkan pokok pengetahuan dalam satu atau lebih disiplin ilmu ?
  • Apakah proyek tersebut dapat/mampu memberi tantangan pada siswa untuk menggunakan strategi-strategi penemuan (ilmiah) dalam satu lebih disiplin ilmu ? (contoh: berfikir dan bekerja seperti ilmuwan)
  • Apakah siswa dapat mengembangkan keterampilan dan kebiasaan berfikir tingkat tinggi ? (contoh:pencarian fakta; memandang masalah dari berbagai sudut)
Belajar pada dunia nyata                             
  • Apakah kegiatan belajar yang dilakukan siswa berada dalam konteks permasalahan semi terstruktur, mengacu pada kehidupan nyata dan bekerj/berada pada dunia luar lingkungan sekolah ?
  • Apakah proyek dapat mengarahkan untuk menguasai dan menggunakan unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam organisasi kerja yang menuntut persyaratan tinggi ? (contoh: kerja tim; menggunakan teknologi yang tepat; pemecahan masalah dan komunikasi)
  • Apakah pekerjaan tersebut mempersyaratkan siswa untuk mampu melakukan pengembangan organisasi dan mengelola ketrampilan pribadi ?
Aktif meneliti
  • Apakah siswa menggunakan sejumlah waktu secara signifikan untuk mengerjakan bidang utama pekerjaannya ?
  • Apakah proyek tersebut mempersyaratkan siswa untuk mampu melakukan penelitian nyata, dan menggunakan berbagai macam strategi, media dan berbagai sumber lainnya ?
  • Apakah siswa diharapkan dapat/mampu untuk berkomunikasi tentang apa yang dipelajari, baik melalui presentasi maupun unjuk kerja ?
Hubungan dengan ahli
  • Apakah siswa menemui dan mengamati (belajar dari) teman/orang sebaya (dewasa) yang memiliki pengalaman dan kecakapan yang relevan ?
  • Apakah siswa berkesempatan bekerja/berdiskusi secara teliti dengan paling tidak seorang teman ?
  • Apakah orang dewasa (di luar siswa) dapat bekerja sama dalam merancang dan menilai hasil kerja siswa ?
Penilaian
  • Apakah siswa dapat merefleksi secara berkala proses belajar yang dilakukannya dengan menggunakan kriteria proyek yang jelas, yang kiranya dapat membantu dalam menentukan kinerjanya ?
  • Apakah orang luar dapat membantu siswa mengembangkan pengertian tentang standar kinerja dunia nyata dalam suatu jenis pekerjaan ?
  • Apakah ada kesempatan secara reguler untuk menilai kerja siswa, terkait dengan strategi yang digunakan, termasuk melalui pameran dan portofolio.

Dalam pembelajaran project-based learning, guru berkewajiban untuk memberikan bimbingan terhadap siswa. Adapun strategi pembimbingan yang dapat menjadi pedoman  guru, menurut Made Wena (2010:157-159) ialah sebagai berikut:
Keautentikan
1.      Mendorong dan membimbing siswa untuk memahami kebermaknaan dari tugas yang dikerjakan.
2.      Merancang tugas siswa sesuai dengan kemampuannya sehingga ia mampu menyelesaikannya tepat waktu. 
3.      Mendorong dan membimbing siswa agar mampu menghasilkan sesuatu dari tugas yang dikerjakannya.

Ketaatan Terhadap Nilai-Nilai Akademik
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu menerapkan berbagai pengetahuan/disiplin ilmu dalam menyelesaikan tugas yang dikerjakan.
2.      Merancang dan mengembangkan tugas-tugas yang dapat memberi tantangan pada siswa untuk menggunakan berbagai metode dalam pemecahan masalah.
3.      Mendorong dan membimbing siswa untuk mampu berfikir tingkat tinggi dalam pemecahan masalah.

Belajar pada Dunia Nyata
1.      Mendorong dan membimbing siswa untuk mampu bekerja pada konteks permasalahan yang nyata yang ada di masyarakat.
2.      Mendorong dan mengarahkan agar siswa mampu bekerja dalam situasi organisasi yang menggunakan teknologi tinggi.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu mengelola kemampuan ketrampilan pribadinya.

Aktif Meneliti
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan jadwal yang telah dibuatnya.
2.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk melakukan penelitian dengan berbagai macam metode, media dan berbagai sumber.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu berkomunikasi dengan orang lain, baik melalui presentasi ataupun media lain.

Hubungan dengan Ahli
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mampu belajar dari orang lain yang memiliki pengetahuan yang relevan.
2.      Mendorong dan mengarahkan siswa bekerja/berdiskusi dengan orang lain/temannya dalam memecahkan masalahnya.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajak/minta pihak luar untuk terlibat dalam menilai untuk kerjanya.

Penilaian
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu melakukan evaluasi  diri terhadap kinerjanya dalam mengerjakan tugasnya.
2.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajak pihak luar untuk terlibat dalam mengembangkan standar kerja yang terkait dengan tugasnya.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk menilai unjuk kerjanya.

Guru dapat memanfaatkan berbagai bentuk proyek sebagai pilihan dalam menerapkan project based learning. Tipe proyek dalam pembelajaran dapat berupa: pelajaran pelayanan, simulasi/permainan peran, penyusunan dan perancangan, pemecahan masalah, telekolaboratif, dan pencarian Website. Deskripsi tipe proyek di atas (http://id.shvoong.com...5P0jr) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Pelajaran Pelayanan: Proyek seperti ini sering melibatkan masyarakat sekitar dan memperbolehkan para siswa untuk mengaplikasikan pelajaran yang telah dipelajari di dalam kelas pada situasi dunia nyata. Menyusun sebuah rencana untuk membersihkan saluran air di lingkungan sekitar atau merancang sebuah tempat bermain untuk taman di lingkungan sekitar merupakan beberapa contoh dari proyek pelajaran pelayanan.
2.      Simulasi/Permainan Peran: Proyek-proyek seperti ini dirancang untuk memberikan para siswa pengalaman nyata dan personal. Para siswa memerankan orang lain atau melebur dalam lingkungan yang diperankan yang menciptakan kembali sebuah tempat dan waktu tertentu. Simulasi dan sandiwara merupakan cara yang sangat baik untuk membayangkan sejarah, memperoleh perspektif yang banyak, atau menciptakan empati. Siswa dapat memainkan peran pengusaha sukses yang awalnya menderita dalam membangun usahanya.
3.      Penyusunan dan Perancangan: Proyek-proyek ini berdasarkan pada kebutuhan kehidupan nyata atau dapat diciptakan dengan membayangkan skenario. Proyek ini menuntut para siswa untuk membuat konstruksi sebenarnya atau merancang rencana untuk menciptakan solusi untuk masalah-masalah nyata. Contohnya siswa diarahkan untuk membuat konsep kantin kejujuran, membuat rencana usaha kecil-kecilan dan membuat rencana pembudidayaan.
4.      Pemecahan Masalah: Ada beberapa proyek yang meminta siswa untuk menemukan solusi dari masalah dunia nyata. Proyek-proyek tersebut boleh menggunakan sebuah skenario khayalan atau sebuah dilema nyata. Masalah-masalah boleh melibatkan masalah sekolah atau masalah masyarakat sekitar sekolah, seperti: mengapa siswa lebih suka jajan dari pada menabung dan mengapa hasil penjualan kerajinan masyarakat turun drastis.
5.      Telekolaboratif: Proyek-proyek ini merupakan tugas pendidikan online. Proyek ini memberikan pengalaman mempelajari dunia nyata ketika berkolaborasi secara online dengan kelas lain, para ahli, atau masyarakat. Misalnya siswa diberi tugas membuat situs di internet untuk mempromosikan sekolah atau kelasnya masing-masing.
6.      Pencarian Website: Proyek ini merupakan aktifitas berorientasi penyidikan dimana sebagian atau seluruh informasi yang digunakan oleh para pelajar diperoleh dari sumber-sumber pada internet. Proyek ini dirancang untuk tambahan pengetahuan dan integrasi. Misalnya siswa diarahkan untuk mencari informasi terkait dengan materi pelajaran di sekolah.