Kamis, 29 November 2012

Kastanisasi Pendidikan

Kementerian Pendidikan Nasional telah mengembangkan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional serta membuat standar tunggal pengelolaan sekolah dengan sertifikasi ISO 9001:2000. Kebijakan itu diperkuat dengan UU Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3 yang berbunyi ”Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.1
Kebijakan pemerintah melalui pemberian sertifikasi berdasarkan tingkatan mutu bagi sekolah-sekolah di Indonesia tanpa sadar telah melegitimasi kasta-kasta dalam dunia pendidikan. Sekolah-sekolah yang mencapai sertifikat ISO 9001:2000 diberi kekebasan tanpa batas untuk memungut biaya pendidikan dari siswanya padahal sekolah tersebut telah mendapatkan bantuan ratusan juta rupiah. Persoalan ini membuat sekolah unggulan menjadi mahal dan elitis sehingga masyarakat golongan ekonomi lemah menjadi sulit untuk menjangkaunya. Dan sekolah-sekolah ditingkat bawahnya menjadi ramai memasang tarif pendidikan sesuai dengan kelas-kelasnya.
Kondisi ini jelas suatu kemunduran bagi sistem pendidikan kita, karena kastanisasi merupakan indikasi diskriminasi pendidikan bagi golongan bawah. Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimanakah diskriminasi dalam dunia pendidikan yang merupakan akibat dari kastanisasi bisa terjadi.

Deklarasi HAM jelas telah menyatakan tidak boleh adanya diskriminasi, demikian juga bunyi UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Artinya jelas bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang sama.
Namun kebijakan pemerintah untuk mengembangkan kualitas pendidikan yang mendasarkan pada UU Sisdiknas pasal 50 ayat 3 tanpa sadar telah menciptakan kasta-kasta bagi sekolah: Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Standar Nasional (SNN), dan Sekolah Reguler (SR).

Kasta-kasta dari sisi finansial
Kehadiran RSBI memang menimbulkan kastanisasi pendidikan, mulai kasta yang rendah, kasta menengah, sampai kasta yang tinggi, kalau dilihat dari sisi finansial.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, sekolah negeri dilarang menarik iuran untuk keperluan biaya operasional sekolah karena sudah mendapat bantuan secara langsung maupun tidak langsung, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah, dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS), insentif guru, dan sebagainya. Implikasinya, para siswa sekolah negeri bebas dari biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) dan semacamnya. Artinya, orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya SPP dan semacamnya.
Berbeda dengan sekolah swasta. Meski sudah mendapat bantuan pemerintah berupa BOS dan insentif guru, banyak sekolah swasta yang menarik SPP kepada siswa karena bantuan tersebut dirasa belum mencukupi kebutuhan sekolah. Namun, besarnya SPP yang ditarik relatif terbatas.
Lain sekolah swasta, dan lain pula RSBI. Sekolah yang berstatus RSBI secara resmi dihalalkan dan dilegalkan menarik iuran dari siswa, termasuk iuran untuk biaya operasional. Jumlahnya pun relatif tidak terbatas. Karena itulah, banyak sekolah berstatus RSBI yang menarik iuran dalam jumlah ''tidak terkira'', sehingga hanya bisa dibayar oleh orang-orang yang berkecukupan.



Diskriminasi Pendidikan
Di lingkungan internal RSBI diskriminasi terlihat pada perbedaan fasilitas yang diterima siswa kelas internasional dan kelas reguler amat mencolok. Contohnya di SMP Negeri 19 DKI Jakarta, misalnya, perbedaan itu sudah terlihat dari kursi yang digunakan. Siswa kelas reguler ”hanya” duduk di kursi kayu yang keras dan kaku. Sementara itu siswa kelas internasional Mereka lebih nyaman duduk di kursi plastik dengan rangka stainless steel, dan meja terpisah, seperti yang kerap ditemui di tempat-tempat bimbingan belajar.
Bukan hanya itu. Siswa kelas internasional juga memiliki ruangan khusus yang digunakan sebagai klinik, berikut dokter umum dan dokter spesialis gigi, yang siap sedia setiap Senin hingga Kamis.
Semua itu bukan tanpa harga. Siswa kelas internasional membayar jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang masuk ke kelas reguler. Ironisnya, ini yang jadi alasan pembenar sehingga fasilitas belajar yang disediakan pun berbeda.
Dari gambaran tersebut, telah tampak adanya kasta-kasta dalam dunia pendidikan. Hal yang sangat tidak relevan dengan amanat UUD 1945 yang memberikan hak kepada semua warga negara untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, termasuk pelayanan pendidikan RSBI.
Melihat kenyataan ini, mau tidak mau anak-anak miskin harus mengesampingkan impiannya untuk menikmati pendidikan berkualitas. Sebab, untuk masuk sekolah-sekolah berlabel SBI siswa umumnya harus membayar iuran sekitar Rp 8 juta-Rp 10 juta, sementara biaya bulanan Rp 450.00 hingga Rp 850.000. Siapa yang mampu bayar biaya sekolah sebesar itu ?. Kenyataan ini menjadikan sekolah favorit menjadi sangat elitis dan sulit dijangkau kalangan bawah.
Ini jelas suatu bentuk diskriminasi pendidikan untuk kalangan bawah yang dengan kata lain merupakan bentuk pengingkaran terhadap deklarasi HAM dan UUD 1945. Rakyat kecil seakan tidak boleh menikmati pendidikan bermutu hanya karena status mereka miskin. Padahal anak-anak miskin menurut konstitusi merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun realitasnya, rakyat harus membiayai sendiri pendidikannya karena subsidi pemerintah amat kecil. Di samping itu juga dilihat dari sudut konstitusi kita sistem pendidikan yang lebih dari satu merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.

Apabila diperhatikan akan ada kesamaan pola sistem pendidikan kita dengan sistem pendidikan pada masa penjajahan belanda. Kesamaan itu dapat dilihat pada masa belanda ditujukan untuk golongan priyayi atau golongan bangsawan yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. Demikian juga pada masa sekarang pendidikan dikastanisasikan untuk kepentingan orang yang berduit atau yang mampu bayar tinggi. Sehingga tidak mengherankan apabila ada istilah ” siapa yang bisa bayar, maka dia akan diterima di sekolah SBI”. Kesan-kesan komersialisasi pendidikan semacam itu menjadikan jaminan kualitas sekolah yang berstandar internasional patut untuk diragukan.
Pada jaman Belanda bahasa pengantar pendidikannya menggunakan bahasa asing yaitu, bahasa belanda. Pada masa sekarang sekolah berlabel SBI bahasa pengantarnya pun menggunakan bahasa asing namun kali ini menggunakan bahasa inggris. Penggunaan bahasa inggris sebagai bahasa pengantar dalam sekolah bertaraf internasional jelas-jelas merupakan pengingkaran terhadap sumpah pemuda dan UUD 1945. Meskipun kemampuan berbahasa inggris itu penting untuk menghadapi persaingan global, namun tidak boleh mengabaikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang berarti juga sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan yang berbasis budaya.
Di lain sisi apabila dilihat dari nilai-nilainya, RSBI telah mengundang perdebatan karena mengutamakan kompetisi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah yang seharusnya membantu sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan justru mendorong setiap sekolah untuk saling bersaing. Padahal, dari nilai-nilai pancasila tidak disebutkan kata-kata persaingan, yang ada adalah nilai-nilai kerjasama dan kebersamaan dalam membangun bangsa.

Program RSBI-SBI perlu dihentikan. Pengelolaan sekolah sudah sepatutnya berbasis budaya dan dana pemerintah lebih baik diarahkan untuk peningkatan fasilitas pendidikan dan kesejahteraan guru dari pada untuk membeli sertifikat ISO.

Menurut pengamat pendidikan Darmaningtyas, sumber masalah RSBI adalah pada UU No. 20 tentang Sisdiknas terutama pasal 50 ayat 3. Oleh karenanya perlu dilakukan amandemen. Apalagi adanya RSBI telah melanggar UUD 1945 Pasal 31 ayat (3).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar