Kamis, 29 November 2012

Project Based Learning dalam Schoolpreneurship


Salah satu model pembelajaran dalam Schoolpreneurship yang dapat diandalkan ialah model project-based learning. Model ini berasal dari gagasan John Dewey berkaitan dengan konsep “Learning by Doing” yakni proses perolehan hasil belajar dengan mengerjakan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tujuannya, terutama penguasaan siswa tentang bagaimana melakukan sesuatu pekerjaan yang terdiri atas serangkaian tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan. Project-based learning (BIE dalam Waras Khamdi, 2007), adalah model pembelajaran yang berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa bernilai, dan realistik.
I Wayan Santyasa (2006:11) mengidentifikasi bahwa project-based learning memiliki empat karakteristik, yaitu isi, kondisi, aktivitas dan hasil. Berikut deskripsi keempat karakteristik tersebut.
I. ISI: memuat gagasan yang orisinil
  1. Masalah kompleks
  2. Siswa menemukan hubungan antar gagasan yang diajukan
  3. Siswa berhadapan pada masalah yang ill-defined
  4. Pertanyaan cenderung mempersoalkan masalah dunia nyata
II. KONDISI: mengutamakan otonomi siswa
  1. Melakukan inquiry dalam konteks masyarakat
  2. Siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien
  3. Siswa belajar penuh dengan kontrol diri
  4. Mensimulasikan kerja secara profesional
III. AKTIVITAS: investigasi kelompok kolaboratif
  1. Siswa berinvestigasi selama periode tertentu
  2. Siswa melakukan pemecahan masalah kompleks
  3. Siswa memformulasikan hubungan antar gagasan orisinilnya untuk mengkonstruksi ketrampilan baru
  4. Siswa menggunakan teknologi otentik dalam memecahkan masalah
  5. Siswa melakukan umpan balik mengenai gagasan mereka berdasarkan respon ahli atau dari hasil tes
IV. HASIL: produk nyata
  1. Siswa menunjukan produk nyata berdasarkan hasil investigasi mereka
  2. Siswa melakukan evaluasi diri
  3. Siswa responsif terhadap segala implikasi dari kompetensi yang dimilikinya
  4. Siswa mendemonstrasikan kompetensi sosial, manajemen pribadi, regulasi belajar.

Project-based learning merupakan model pembelajaran yang diadaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller dalam Waras Khamdi, 2007). Setelah melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis dididik, pendidikan medis mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan. Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning. Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan medis di negara-negara maju (Waras Khamdi, 2007).
Tujuan model pembelajaran ini ialah melatih kemandirian kepada siswa. Peserta dilatih berfikir kritis, logis dan realistis agar memiliki kemandirian dalam memecahkan masalah seharai-hari. Project-based learning juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mengadakan hubungan dengan sesama siswa (soft skills). Selain itu, Project-based learning juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih bagian pekerjaan kelompok yang sesuai dengan kemampuan, keterampilan, kebutuhan dan minat masing-masing. Dengan demikian bentuk proses project-based learning merupakan bentuk pembelajaran yang otonom dan mandiri. Nilai kemandirian terlihat pada siswa jika Ia yang mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu.
Dalam menerapkan project-based learning, guru harus memperhatikan langkah-langkah implementasinya. Menurut I Wayan Santyasa (2006:12), implementasi project-based learning mengikuti lima langkah utama, yaitu sebagai berikut:
1.      Menetapkan tema proyek
Tema proyek hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) memuat gagasan umum dan orisinil, (b) penting dan menarik, (c) mendeskripsikan masalah kompleks, (d) mencerminkan hubungan berbagai gagasan, (e) mengutamakan pemecahan masalah ill defined.
2.      Menetapkan konteks belajar
Konteks belajar hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) pertanyaan-pertanyaan proyek mempersoalkan masalah dunia nyata, (b) mengutamakan otonomi siswa, (c) melakukan inquiry dalam konteks masyarakat, (d) siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien, (e) siswa belajar penuh dengan kontrol diri, (f) mensimulasikan kerja secara profesional.
3.      Merencanakan aktivitas-aktivitas
Pengalaman belajar terkait dengan merencanakan proyek adalah sebagai berikut: (a) membaca, (b) meneliti, (c) observasi, (d) interview, (e) merekam, (f) mengunjungi obyek yang berkaitan dengan proyek, (g) akses internet.
4.      Memeroses aktivitas-aktivitas
Indikator-indikator memeroses aktivitas meliputi antara lain: (a) membuat sketsa, (b) melukiskan analisa, (c) menghitung, (d) men-generate, (e) mengembangkan prototipe.
5.      Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek
Langkah-langkah yang dilakukan, adalah: (a) mencoba mengerjakan proyek berdasarkan sketsa, (b) menguji langkah-langkah yang telah dikerjakan dan hasil yang diperoleh, (c) mengevaluasi hasil yang telah diperoleh, (d) merevisi hasil yang telah diperoleh, (d) melakukan daur ulang proyek yang lain, dan (e) mengklasifikasi hasil terbaik.
Adria Steinberg (dalam  Patton, 2012:40) telah mengembangkan seperangkat prinsip untuk membuat desain  dalam project-based learning, dikenal dengan istilah The Six As. Prinsip ini sangat berpengaruh dalam menentukan level kualitas desain suatu proyek. Keenam prinsip itu adalah: (1) Authenticity (keautentikan); (2) Academic Rigor (ketaatan terhadap nilai akademik), (3) Applied Learning (belajar pada dunia nyata), (4) Active Exploration (aktif meneliti), (5) Adult Relationship (hubungan dengan ahli), dan (6) Assessment (penilaian).
Berikut ini beberapa pertanyaan penuntun menurut Made Wena (2010:151), yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mendesain suatu proyek.
Langkah-Langkah
Pertanyaan Penuntun
Keautentikan
  • Apakah proyek-proyek tersebut mengacu pada permasalahan yang bermakna bagi siswa ?
  • Apakah masalah tersebut mungkin secara nyata dapat dikerjakan oleh siswa ?
  • Apakah siswa dapat menciptakan atau menghasilkan sesuatu, baik sebagai pribadi maupun kelompok di luar lingkungan ?
Ketaatan terhadap nilai akademik
  • Apakah proyek tersebut dapat membantu atau mengarahkan siswa untuk memperoleh dan menerapkan pokok pengetahuan dalam satu atau lebih disiplin ilmu ?
  • Apakah proyek tersebut dapat/mampu memberi tantangan pada siswa untuk menggunakan strategi-strategi penemuan (ilmiah) dalam satu lebih disiplin ilmu ? (contoh: berfikir dan bekerja seperti ilmuwan)
  • Apakah siswa dapat mengembangkan keterampilan dan kebiasaan berfikir tingkat tinggi ? (contoh:pencarian fakta; memandang masalah dari berbagai sudut)
Belajar pada dunia nyata                             
  • Apakah kegiatan belajar yang dilakukan siswa berada dalam konteks permasalahan semi terstruktur, mengacu pada kehidupan nyata dan bekerj/berada pada dunia luar lingkungan sekolah ?
  • Apakah proyek dapat mengarahkan untuk menguasai dan menggunakan unjuk kerja yang dipersyaratkan dalam organisasi kerja yang menuntut persyaratan tinggi ? (contoh: kerja tim; menggunakan teknologi yang tepat; pemecahan masalah dan komunikasi)
  • Apakah pekerjaan tersebut mempersyaratkan siswa untuk mampu melakukan pengembangan organisasi dan mengelola ketrampilan pribadi ?
Aktif meneliti
  • Apakah siswa menggunakan sejumlah waktu secara signifikan untuk mengerjakan bidang utama pekerjaannya ?
  • Apakah proyek tersebut mempersyaratkan siswa untuk mampu melakukan penelitian nyata, dan menggunakan berbagai macam strategi, media dan berbagai sumber lainnya ?
  • Apakah siswa diharapkan dapat/mampu untuk berkomunikasi tentang apa yang dipelajari, baik melalui presentasi maupun unjuk kerja ?
Hubungan dengan ahli
  • Apakah siswa menemui dan mengamati (belajar dari) teman/orang sebaya (dewasa) yang memiliki pengalaman dan kecakapan yang relevan ?
  • Apakah siswa berkesempatan bekerja/berdiskusi secara teliti dengan paling tidak seorang teman ?
  • Apakah orang dewasa (di luar siswa) dapat bekerja sama dalam merancang dan menilai hasil kerja siswa ?
Penilaian
  • Apakah siswa dapat merefleksi secara berkala proses belajar yang dilakukannya dengan menggunakan kriteria proyek yang jelas, yang kiranya dapat membantu dalam menentukan kinerjanya ?
  • Apakah orang luar dapat membantu siswa mengembangkan pengertian tentang standar kinerja dunia nyata dalam suatu jenis pekerjaan ?
  • Apakah ada kesempatan secara reguler untuk menilai kerja siswa, terkait dengan strategi yang digunakan, termasuk melalui pameran dan portofolio.

Dalam pembelajaran project-based learning, guru berkewajiban untuk memberikan bimbingan terhadap siswa. Adapun strategi pembimbingan yang dapat menjadi pedoman  guru, menurut Made Wena (2010:157-159) ialah sebagai berikut:
Keautentikan
1.      Mendorong dan membimbing siswa untuk memahami kebermaknaan dari tugas yang dikerjakan.
2.      Merancang tugas siswa sesuai dengan kemampuannya sehingga ia mampu menyelesaikannya tepat waktu. 
3.      Mendorong dan membimbing siswa agar mampu menghasilkan sesuatu dari tugas yang dikerjakannya.

Ketaatan Terhadap Nilai-Nilai Akademik
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu menerapkan berbagai pengetahuan/disiplin ilmu dalam menyelesaikan tugas yang dikerjakan.
2.      Merancang dan mengembangkan tugas-tugas yang dapat memberi tantangan pada siswa untuk menggunakan berbagai metode dalam pemecahan masalah.
3.      Mendorong dan membimbing siswa untuk mampu berfikir tingkat tinggi dalam pemecahan masalah.

Belajar pada Dunia Nyata
1.      Mendorong dan membimbing siswa untuk mampu bekerja pada konteks permasalahan yang nyata yang ada di masyarakat.
2.      Mendorong dan mengarahkan agar siswa mampu bekerja dalam situasi organisasi yang menggunakan teknologi tinggi.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu mengelola kemampuan ketrampilan pribadinya.

Aktif Meneliti
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan jadwal yang telah dibuatnya.
2.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk melakukan penelitian dengan berbagai macam metode, media dan berbagai sumber.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu berkomunikasi dengan orang lain, baik melalui presentasi ataupun media lain.

Hubungan dengan Ahli
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mampu belajar dari orang lain yang memiliki pengetahuan yang relevan.
2.      Mendorong dan mengarahkan siswa bekerja/berdiskusi dengan orang lain/temannya dalam memecahkan masalahnya.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajak/minta pihak luar untuk terlibat dalam menilai untuk kerjanya.

Penilaian
1.      Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu melakukan evaluasi  diri terhadap kinerjanya dalam mengerjakan tugasnya.
2.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajak pihak luar untuk terlibat dalam mengembangkan standar kerja yang terkait dengan tugasnya.
3.      Mendorong dan mengarahkan siswa untuk menilai unjuk kerjanya.

Guru dapat memanfaatkan berbagai bentuk proyek sebagai pilihan dalam menerapkan project based learning. Tipe proyek dalam pembelajaran dapat berupa: pelajaran pelayanan, simulasi/permainan peran, penyusunan dan perancangan, pemecahan masalah, telekolaboratif, dan pencarian Website. Deskripsi tipe proyek di atas (http://id.shvoong.com...5P0jr) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Pelajaran Pelayanan: Proyek seperti ini sering melibatkan masyarakat sekitar dan memperbolehkan para siswa untuk mengaplikasikan pelajaran yang telah dipelajari di dalam kelas pada situasi dunia nyata. Menyusun sebuah rencana untuk membersihkan saluran air di lingkungan sekitar atau merancang sebuah tempat bermain untuk taman di lingkungan sekitar merupakan beberapa contoh dari proyek pelajaran pelayanan.
2.      Simulasi/Permainan Peran: Proyek-proyek seperti ini dirancang untuk memberikan para siswa pengalaman nyata dan personal. Para siswa memerankan orang lain atau melebur dalam lingkungan yang diperankan yang menciptakan kembali sebuah tempat dan waktu tertentu. Simulasi dan sandiwara merupakan cara yang sangat baik untuk membayangkan sejarah, memperoleh perspektif yang banyak, atau menciptakan empati. Siswa dapat memainkan peran pengusaha sukses yang awalnya menderita dalam membangun usahanya.
3.      Penyusunan dan Perancangan: Proyek-proyek ini berdasarkan pada kebutuhan kehidupan nyata atau dapat diciptakan dengan membayangkan skenario. Proyek ini menuntut para siswa untuk membuat konstruksi sebenarnya atau merancang rencana untuk menciptakan solusi untuk masalah-masalah nyata. Contohnya siswa diarahkan untuk membuat konsep kantin kejujuran, membuat rencana usaha kecil-kecilan dan membuat rencana pembudidayaan.
4.      Pemecahan Masalah: Ada beberapa proyek yang meminta siswa untuk menemukan solusi dari masalah dunia nyata. Proyek-proyek tersebut boleh menggunakan sebuah skenario khayalan atau sebuah dilema nyata. Masalah-masalah boleh melibatkan masalah sekolah atau masalah masyarakat sekitar sekolah, seperti: mengapa siswa lebih suka jajan dari pada menabung dan mengapa hasil penjualan kerajinan masyarakat turun drastis.
5.      Telekolaboratif: Proyek-proyek ini merupakan tugas pendidikan online. Proyek ini memberikan pengalaman mempelajari dunia nyata ketika berkolaborasi secara online dengan kelas lain, para ahli, atau masyarakat. Misalnya siswa diberi tugas membuat situs di internet untuk mempromosikan sekolah atau kelasnya masing-masing.
6.      Pencarian Website: Proyek ini merupakan aktifitas berorientasi penyidikan dimana sebagian atau seluruh informasi yang digunakan oleh para pelajar diperoleh dari sumber-sumber pada internet. Proyek ini dirancang untuk tambahan pengetahuan dan integrasi. Misalnya siswa diarahkan untuk mencari informasi terkait dengan materi pelajaran di sekolah.

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter menjadi sangat mendesak untuk diterapkan dalam dunia pendidikan kita. Mengapa tidak, berbagai persoalan bangsa tengah merajalela dalam kehidupan kita, di antaranya ialah banyaknya kekerasan, penggunaan bahasa yang memburuk, meningkatnya perilaku merusak diri, membudayanya ketidakjujuran dan rasa saling curiga, dll. Hal tersebut membuat kondisi bangsa kian terpuruk dan tertinggal jauh dari bangsa-bangsa lain. Pendidikan karakter memang tidak serta merta dapat menyelesaikan persoalan bangsa tersebut tetapi merupakan proses panjang menuju indonesia yang maju dan beradab. Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang mengajarkan hakikat karakter dalam tiga ranah, yaitu ranah cipta, rasa dan karsa. Pendidikan karakter berfungsi sebagai pemberi pencerahan atas konsep free will dengan menyeimbangkan konsep determinism dalam praksis pendidikan. Pendidikan harus memberikan ruang yang luas kepada peserta didik untuk bebas memilih. Dalam buku Strategi dan Kebijakan –Pembelajaran- Pendidikan Karakter , Barnawi & M. Arifin mengupas bagaimana pendidikan karakter menjadi sesuatu yang urgen, kebijakannya di Indonesia dan penerapannya dalam lingkungan sekolah. Dengan kata lain, pembahasannya berangkat dari teori hingga praktis. Sangat menarik untuk dibaca oleh praktisi dan pemikir pendidikan serta calon-calon guru. Dapatkan segera bukunya di Gramedia di seluruh Indonesia…!

PRINSIP PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK USIA DINI

Dalam membantu perkembangan kognitif anak usia dini seharusnya dilakukan dengan memegang beberapa prinsip agar dalam pelaksanaannya tidak justru menghambat perkembangannya. Berikut ini beberapa prinsip yang dapat digunakan mendukung perkembangan kognitif anak:
1. Memberikan banyak kesempatan.
Sebaiknya anak diberi banyak kesempatan untuk melakukan sesuatu yang ia. Contoh: jika anak ingin menhitung uang ibunya sebaiknya jangan dilarang tetapi didampingi.
2. Membantu anak memahami informasi yang diterima
Pada masa perkembangan kognitifnya rasa ingin tahu anak biasanya cukup besar. Oleh karena itu guru/orang tua harus menjelaskan apa yang ditanyakan anak dengan benar dan proposional. Contoh: Ketika anak bertanya tentang kenapa pesawat bisa terbang, guru/orang tua menjelaskannya sesuai dengan tingkat pemahaman anak.
3. Katakan pada anak apa yang terjadi
Biasanya apabila ada kejadian sesuatu anak ingin bertanya. Atau bahkan jika ada perubahan perilaku pada ibunya anak juga suka bertanya. Dalam hal ini anak harus mendapat penjelasan bukan menutup-nutupi. Contoh: saat ibunya mengalami perubahan perilaku seperti murung karena sedang sedih anak biasanya bertanya mengapa. Meskipun belum saatnya anak memahami persoalan orang dewasa tetapi anak perlu diberi tahu dengan bahasa yang mudah dipahami. Jangan sampai ada ketidakterbukaan antara anak dan ibu. Karena hal tersebut akan menimbulkan rasa tidak percaya.
4. Berikan contoh yang baik
Untuk mendukung perkembangan anak, terutama dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan orang dewasa harus memberikan teladan sehingga anak dapat menerima dengan baik tanpa ada keraguan. Contoh; ketika guru/orang tua mengajarkan kepada anak untuk selalu mengucap bismillah saat memulai pekerjaan, maka guru/orang tua harus sudah memiliki kebiasaan untuk mengucapkan bismilah saat memulai pekerjaan.
5. Bantulah anak untuk mengingat sesuatu
Biasanya anak sulit mengingat sesuatu, padahal sesuatu itu sangat bermanfaat bagi perkembangannya dan bagi masa depan anak. Oleh karena itu guru seharunya berkreasi untuk membuat sesuatu itu mudah diingat oleh anak. Contoh: untuk menghafal nama bagian-bagian tubuh, guru mengajarkannya dalam bentuk nyanyian (dua mata saya, hidung saya satu…dst). Atau dalam mengajarkan adab dalam beraktivitas (sebelum makan baca bismillah, sesudah makaan alhamdulillah…dst).
6. Memberikan Motivasi
Anak terkadang kehilangan motivasi setelah gagal melakukan sesuatu. Guru seharusnya memberikan motivasi agar siswa tidak merasa kecil hati. Contoh: guru memberikan perhatian labih dan anak diberi pengertian bahwa kegagalannya merupakan awal dari keberhasilan.
7. Memberikan Permainan
Dunia anak adalah dunia bermain. Permainan adalah satu-satunya aktivitas dalam hidupnya. Oleh karena itu dalam mendukung perkembangan kognitif anak guru harus menggunakan pendekatan permainan. Contoh: anak diberi permainan puzzle.
8. Biarkan anak bereksplorasi
Anak kadang suka bereksplorasi melakukan hal-hal yang aneh dan keinginannya kadang tidak sesuai nalar orang dewasa. Meskipun demikian sebaiknya anak tidak boleh dilarang namun tetap pengawasan. Contoh: anak suka memencet semua tombol di televisi atau bahkan memukul-mukulnya. Hal ini ia lakukan untuk mencari tahu respon televisi atas tindakannya itu. Orang dewasa harus melakukan pendampingan dan memberikan penjelasan sesuai dengan daya tangkap siswa dan sesuai dengan bahasa yang dapat dipahami oleh anak.

Laporan Ketua Panitia OSMA 2011

LAPORAN KETUA PANITIA OSMA STKIP DAN STIE ISLAM BUMIAYU
PADA ACARA PENUTUPAN OSMA 2011
DI KAMPUS STKIP ISLAM BUMIAYU
TANGGAL 13 SAMPAI 15 SEPTEMBER 2011


YANG TERHORMAT, WAKIL BUPATI BREBES, IBU HJ. IDZA PRIYANTI, AMD.
YANG KAMI HORMATI,
KETUA BPH STKIP DAN STIE ISLAM BUMIAYU, PROF. DR. H. YAHYA A. MUHAIMIN.
KETUA YAYASAN TA’ALLUMUL HUDA BUMIAYU, BAPAK ABDUL KARIM, S. AG. BESERTA PENGURUS.
KETUA STKIP ISLAM BUMIAYU, BAPAK M. SHOFI MUBAROK, M. PD.
KETUA STIE ISLAM BUMIAYU, DR. SULIYANTO, SE, MM. ATAU YANG MEWAKILI
PARA DOSEN DAN STAF KARYAWAN
PARA TAMU UNDANGAN
DAN PESERTA OSMA YANG BERBAHAGIA

ASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH
SELAMAT SIANG, DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEMUA.
PUJI SYUKUR KE HADIRAT ALLAH SUBHANAHU WATA’ALA YANG TELAH MELIMPAHKAN NIKMAT, RAHMAT DAN KARUNIANYA, HINGGA KITA TELAH SAMPAI PADA ACARA PENUTUPAN ORIENTASI STUDI MAHASISWA STKIP ISLAM BUMIAYU DAN STIE ISLAM BUMIAYU TAHUN 2011.

PADA KESEMPATAN YANG BAIK INI, PERKENANKAN KAMI SELAKU PANITIA MELAPORKAN RANGKUMAN PENYELENGGARAAN KEGIATAN ORIENTASI STUDI MAHASISWA TAHUN 2011, SEBAGAI BERIKUT :

1. JUMLAH PESERTA YANG HADIR PADA KEGIATAN OSMA TAHUN INI ADALAH 266 MAHASISWA, YANG TERDIRI ATAS 235 MAHASISWA STKIP ISLAM BUMIAYU DAN 31 MAHASISWA STIE ISLAM BUMIAYU. MAHASISWA TERSEBUT BERASAL DARI BEBERAPA DAERAH, DARI PAMEKASAN MADURA HINGGA DKI JAKARTA.

2. PESERTA OSMA TELAH MENGIKUTI KEGIATAN INI SELAMA 3 (TIGA) HARI DENGAN BAIK DAN PENUH DENGAN KESUNGGUHAN.

3. SECARA UMUM KEGIATAN OSMA TERDIRI DARI MATERI AKADEMIK DAN NON AKADEMIK, PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TENGAH, SOFSKILL DAN ORGANISASI KEMAHASISWAAN SERTA PENGEMBANGAN ESQ. ADAPUN BENTUKNYA, BERUPA ABSTRAKSI, REFLEKSI, PERLOMBAAN PENTAS SENI DAN BHAKTI SOSIAL.


HADIRIN YANG KAMI HORMATI,
SELANJUTNYA, PADA KESEMPATAN INI, KAMI MENGUCAPKAN TERIMA KASIH KEPADA PENGELOLA SMP ISLAM BUMIAYU YANG TELAH BERKENAN MEMINJAMKAN TEMPAT UNTUK MELAKSANAKAN KEGIATAN OSMA INI. KEMUDIAN, KAMI UCAPKAN TERIMA KASIH PULA KEPADA PEMERINTAH DAERAH YANG TELAH MENDUKUNG TERSELENGGARANYA OSMA, MUDAH-MUDAHAN DENGAN DUKUNGAN PEMDA BREBES, DI TAHUN-TAHUN MENDATANG, BU HJ. IDZA PRIYANTI, AMD BISA HADIR KEMBALI SEBAGAI PEMIMPIN DAERAH. BUKAN DI KEGIATAN OSMA STKIP DAN STIE ISLAM BUMIAYU LAGI, TETAPI DI OSMA UNIVERSITAS PERADABAN. TAK LUPA, KAMI UCAPKAN TERIMA KASIH KEPADA SEMUA PIHAK YANG TELAH MEMBERIKAN KONTRIBUSI BAIK MORIL MAUPUN MATERIL.

KEPADA PESERTA OSMA, KAMI UCAPKAN SELAMAT ATAS PENGUKUHANNYA, MENJADI MAHASISWA, DAN SELAMAT MENEMPUH PERKULIAHAN. SEMOGA APA YANG DIPEROLEH SELAMA OSMA, DAPAT BERMANFAAT UNTUK MERAIH SUKSES BELAJAR DI PERGURUAN TINGGI INI. DI SAMPING ITU, SELAKU PANITIA PENYELENGGARA MEMOHON MAAF APABILA ADA HAL-HAL YANG KURANG BERKENAN SELAMA KEGIATAN BERLANGSUNG.

AKHIRNYA, KAMI MOHON KEPADA WAKIL BUPATI BREBES, IBU HJ. IDZA PRIYANTI, AMD. BERKENAN MEMBERIKAN SAMBUTAN SEKALIGUS MENUTUP KEGIATAN OSMA STKIP ISLAM BUMIAYU DAN STIE ISLAM BUMIAYU TAHUN 2011 INI.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH
Dan JAYALAH TERUS INDONESIA,
JAYALAH TERUS MAHASISWA..!!

WASSALAMU’ALAIKUM WARAHMATULAHI WABARAKATUH

KETUA PANITIA OSMA 2011
TTD
MOHAMMAD ARIFIN

Posisi Organisasi Kemahasiswaan


Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat kampus tidak bisa lepas dari kehidupan organisasi. Dengan adanya organisasi kemahasiswaan, mahasiswa dapat menyalurkan aspirasi yang menjadi kebutuhan mahasiswa itu sendiri. Organisasi kemahasiswaan di kampus kita (Baca: STKIP Islam Bumiayu) seperti DM, MPM dan UKM hendaknya mampu menunjukan kewibawaanya sebagai organisasi yang mengusung kedaulatan mahasiswa. Organisasi tersebutlah yang sekarang menjadi harapan ratusan mahasiswa di kampus kita.
Mahasiswa, baik yang organisatoris ataupun yang bukan, perlu memahami posisi organisasi kemahasiswaan di lingkungan kampus agar organisasi tersebut dapat berjalan sesuai dengan fungsinya sehingga semakin dapat dirasakan manfaatnya oleh mahasiswa itu sendiri. Organisasi mahasiswa mempunyai banyak fungsi, di antaranya ialah sebagai sarana pengembangan potensi diri dan sebagai wahana belajar mengelola organisasi dengan prinsip good governance, yaitu akuntabilitas, transparan, kesetaraan dan tertib hukum.
Organisasi kemahasiswaan merupakan bagian dari sistem kampus, tetapi secara struktural tidaklah berada di bawah pimpinan perguruan tinggi. Dengan kata lain, tidak ada pola hubungan superordinat-subordinat atau subyek-obyek. Organisasi kemahasiswaan memiliki otoritas penuh dalam menentukan arah kebijakan organisasinya. Arah kebijakan organisasi yang dibuat secara independen merupakan perwujudan dari masyarakat kampus yang demokratis, yang memiliki wewenang penuh dalam menjalankan aktivitas di dalam fungsi dan bidang masing-masing. Oleh sebab itu tanggung jawab aktivitas mahasiswa yang diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan tetap di tangan organisasi kemahasiswaan itu sendiri.
Tetapi perlu diketahui bahwa pimpinan perguruan tinggi adalah penanggungjawab sistem yang ada di kampus. Pola hubungan yang dikembangkan antara organisasi kemahasiswaan dan manajemen kampus adalah pola hubungan kerjasama dalam suasana saling menghormati dan saling bertanggung jawab dengan dilandasi aturan hukum dan moral yang disepakati bersama. Dengan kata lain, hubungan yang diharapkan adalah hubungan yang demokratis dan saling menghormati posisi masing-masing sehingga organisasi kemahasiswaan tetap memiliki hak penuh untuk menentukan arah kebijakan dan sistem organisasinya.
Secara teknis hubungan organisasi kemahasiswaan dengan manajemen kampus terbagi menjadi 3 (tiga) pola. Pertama, untuk hal-hal yang merupakan kepentingan mahasiswa sepenuhnya maka menjadi wewenang penuh organisasi kemahasiswaan. Dalam konteks ini, manajemen kampus memiliki fungsi partisipatif untuk memberikan masukan. Contoh: (1) Penentuan arah kebijakan dan tata organisasi intern organisasi kemahasiswaan; (2) Pemilihan, pengangkatan dan pertanggungjawaban badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan; (3) Pelaksanaan dan pengawasan aktivitas program organisasi kemahasiswaan.
Yang kedua, untuk hal-hal yang merupakan irisan antara kepentingan manajemen kampus dan organisasi kemahasiswaan memerlukan koordinasi dan kesepakatan antara kedua belah pihak. Contohnya: penyelenggaraan kegiatan yang diselenggarakan oleh kedua belah pihak dan pemakaian fasilitas fisik kampus.
Yang ketiga, untuk hal-hal yang merupakan kepentingan manejemen sepenuhnya. Hal ini merupakan wewenang manajemen sepenuhnya dan organisasi kemahasiswaan hanya berperan partisipatif dan memberi masukan. Contohnya: (1) Penentuan kebijakan akademik perguruan tinggi, seperti; kurikulum, sanksi akademik, biaya pendidikan dll; (2) Penentuan kebijakan tata organisasi manajemen; (3) Pengelolaan fasilitas fisik kampus.
Posisi organisasi kemahasiswaan memiliki peran yang strategis bukan hanya untuk mengembangkan potensi diri tetapi juga untuk menyiapkan diri sebagai pemimpin masyarakat di masa depan. Akhirnya, semoga organisasi kemahasiswaan dapat mendorong lahirnya insan akademik yang cerdas dan kompetitif serta berahlakul karimah. Amien..!!

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

Indonesia memiliki aneka ragam suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Aneka ragam suku bangsa juga diikuti dengan aneka ragam budaya dan bahasa sehingga menjadikan bangsa Indonesia rawan akan perpecahan. Kondisi seperti inilah yang menginspirasi penjajah untuk melancarkan strategi ‘adu dombanya’ sehingga bangsa Indonesia terjajah hingga 353,5 tahun oleh Belanda dan Jepang. Kemerdekaan yang kita nikmati tidak lepas dari bahasa Indonesia sebagai pemersatu yang menghubungkan cita-cita suku bangsa sehingga menjadi satu bangsa yang utuh dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peranan bahasa bagi bangsa Indonesia juga sebagai sarana utama untuk berpikir dan bernalar. Dengan bahasa ini pula manusia menyampaikan hasil pemikiran dan penalaran, sikap, serta perasannya. Bahasa juga berperan sebagai alat penerus dan pengembang kebudayaan sehingga nilai – nilai dalam masyarakat dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Bahasa Indonesia tidak lah ada dengan sendirinya dan memiliki sejarah yang panjang. Namun tidak semua putra bangsa mengetahui sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Meminjam istilah bung Karno, “Jas Merah”, jangan pernah sekali-kali meninggalkan sejarah. Kita tidak akan mencintai apa yang ada hari ini tanpa melihat sejarah yang terjadi kemarin. Dengan memahami sejarah dan perkembangan bahasa kita akan menghargai bahasa ini dengan meneruskan cita-cita luhur bangsa.

Perkembangan Bahasa Indonesia Berdasarkan Prasasti
Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah; (1) Kedukan Bukit (683 Masehi), (2) Talang Tuwo (684 Masehi), (3) Kota Kapur (686 Masehi), (4) Karang Brahi (686 Masehi), (5) Gandasuli (832 Masehi), (6) Bogor (942 Masehi), dan (7) Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24).
Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Selatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatn raja.
Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Masa Kerajaan Malaka, sekitar abad ke-15. Sejarah Melayu karya Tun Muhammad Sri Lanang adalah peninggalan karya sastra tertua yang ditulis pada masa ini. Sekitar tahun 1521, Antonio Pigafetta menyusun daftar kata(semacam kamus) Italy-Melayu yang pertama. Daftar itu dibuat di Tidore dan berisi kata-kata yang dijurnpai di sana.
Jika berbagai prasasti tersebut bertahun pada zaman Sriwijaya, bisa disimpulkan bahwa Bahasa Melayu Kuno pada zaman itu telah berperan sebagai lingua franca. Atau, ada kemungkinan sebagai bahasa resmi pada zaman Sriwijaya. Kesimpulan ini diperkiat oleh keterangan I Tsing tentang bahasa itu bahwa bersama dengan Bahasa Sanskerta, Bahasa Melayu (diistilahkan Kw’en Lun) memegang peranan penting di dalam kehidupan politik dan keagamaan di negara itu (Sriwijaya).
Banyak yang menyimpulkan pada saat itu Bahasa Melayu telah Berfungsi sebagai :
1. Bahasa Kebudayaan yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.
2. Bahasa Perhubungan (Lingua Franca) antar suku di Indonesia.
3. Bahasa Perdagangan baik bagi suku yang ada di indonesia mapupun pedagang yang berasal dari luar indonesia.
4. Bahasa resmi kerajaan.
Kedudukan Resmi
Bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19, namun mengalami perkembangan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan di awal abad ke-20. Bahasa ini sejak dahulu telah digunakan sebagai bahasa perantara atau bahasa pergaulan. Bahasa melayu tidak hanya digunakan di Kepulauan Nusantara, tetapi juga digunakan hampir diseluruh Asia Tenggara.
Bahasa Indonesia digunakan untuk pertama kalinya dalam acara resmi yaitu pada tanggal 16 Juni 1927 dalam sidang Volksraad, waktu itu Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Namun Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional merupakan usulan dari Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.
Secara Sosiologis kita bisa mengatakan bahwa Bahasa Indonesia resmi di akui pada Sumpah Pemuda tanggal 28 Onktober 1928. Hal ini juga sesuai dengan butir ketiga ikrar sumpah pemuda yaitu “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Namun secara Yuridis Bahasa Indonesia diakui pada tanggal 18 Agustus 1945 atau setelah Kemerdekaan Indonesia.
Ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia yaitu :
1. Faktor Historis, Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdangangan.
2. Faktor kesederhanaan sistem. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dielajari karena dalam bahasa melayu tidak dikenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Faktor Psikologis. Suku jawa, suku sunda dan suku suku yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
4. Faktor kesanggupan, bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru. Pujangga baru adalah nama majalah sastra pada waktu itu yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Perkembangan bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Dan pada tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia dan Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa kebangsaan dan bahasa Negara.

Ejaan Ch. A. van Ophuijsen
Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang distandardisasikan. Keraf (dalam Sri Haryatmo 1988:51) mengatakan bahwa ejaan ialah keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi ujaran dan bagaimana interrelasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya, penggabungannya) dalam suatu bahasa. Sedangkan ejaan menurut Sri Haryatmo (2009) adalah seperangkat kaidah tulis-menulis yang meliputi kaidah penulisan huruf, kata, dan tanda baca.
Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu) membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri dalam menulis huruf, kata dan tanda baca. Tidak ada kesatuan dalam ejaan menjadikan tulisan-tulisan itu menjadi sulit dipahami karena cukup bervariasi. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Ditetapkannya Ejaan van Ophuyson merupakan hal yang sangat bermanfaat pada masa itu.
Ejaan Van Ophuijsen merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen menyusun ejaan ini pada tahun 1896 dengan bantuan Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901 dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
Intervensi pemerintah terhadap bahasa Melayu semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Pada tahun 1910 di bawah pimpinan D.A. Rinkes komisi ini melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan.
Kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka banyak menerbitkan karya-karya sastra. Novel-novel yang diterbitkan seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan. Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat. Ejaan Van Ophuisjen tidak sekali jadi tapi tetap mengalami perbaikan dari tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Ciri-ciri dari ejaan Van Ophuijsen yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan dipotong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

Ejaan Suwandi
Pada Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah dirancangkan waktu pendudukan Jepang.
Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.
Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Republik. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan kembali mempersoalkan masalah ejaan. Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitia dengan SK No. 44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia). Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik kemudian.

Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Pada tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sarino Mangunpranoto dibentuk sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Ejaan ini menggantikan ejaan sebelumnya, Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Peresmiannya dilakukan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1972 melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR.
Sebelumnya pada tanggal 23 Mei 1972, sebuah pernyataan bersama telah ditandatangani oleh Menteri Pelajaran Malaysia pada masa itu, Tun Hussien Onn dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Mashuri. Pernyataan bersama tersebut mengandung persetujuan untuk melaksanakan asas yang telah disepakati oleh para ahli dari kedua negara tentang Ejaan Baru dan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972, berdasarkan Keputusan Presiden No. 57, Tahun 1972, berlakulah sistem ejaan Latin (Rumi dalam istilah bahasa Melayu Malaysia) bagi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Di Malaysia ejaan baru bersama ini dirujuk sebagai Ejaan Rumi Bersama (ERB).
Pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, menerbitkan buku "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah".
Perbedaan-perbedaan antara EYD dan ejaan sebelumnya adalah:
* 'tj' menjadi 'c' : tjutji → cuci
* 'dj' menjadi 'j' : djarak → jarak
* 'oe' menjadi 'u' : oemoem -> umum
* 'j' menjadi 'y' : sajang → sayang
* 'nj' menjadi 'ny' : njamuk → nyamuk
* 'sj' menjadi 'sy' : sjarat → syarat
* 'ch' menjadi 'kh' : achir → akhir
* awalan 'di-' dan kata depan 'di' dibedakan penulisannya. Kata depan 'di' pada contoh "di rumah", "di sawah", penulisannya dipisahkan dengan spasi, sementara 'di-' pada dibeli, dimakan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Ada peristiwa penting yang mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia. Pada tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Kemudian tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
Kongres Bahasa Indonesia ke-V diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d. November 1988. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

KESIMPULAN
Bahasa Indonesia merupakan suatu varian bahasa Melayu yang digunakan sebagai bahasa resmi kerajaan sriwijaya. Sampai sekarang terus mengalami perkembangan.
Bahasa Indonesia resmi digunakan pada peristiwa sumpah pemuda atas usul Muhammad Yamin. Hingga kini Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan berada di atas bahasa-bahasa daerah dan Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ejaan Bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Dari ejaan Van Ophuisjen, ejaan Suwandi dan sampai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) adalah sejarah penyempurnaan Bahasa Indonesia yang terus mengikuti zaman.

SARAN
Bahasa Indonesia adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan tak ternilai harganya. Oleh karena itu, kita sebagai warga Negara harus menjaganya dengan cara mencintai dan mengembangkannya melalui seni bersastra.
Pemerintah hendaknya melakukan upaya penelitian secara lebih mendalam lagi mengenai sejarah bahasa Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya.