Sabtu, 01 Desember 2012

Pemimpin Nasional yang Memandirikan Bangsa



Di abad 21 ini, penguasaan suatu negara atas negara lain tidak dilakukan secara langsung dengan mengangkat senjata dan menembaki penduduk negeri. Tetapi sudah sangat halus yaitu dengan menciptakan ketergantungan di bidang ekonomi yang menular pada bidang sosial dan politik. Hal ini lebih membahayakan karena penjajahan ekonomi dengan cara ini akan mengaburkan indikasi kejahatannya. Seakan-akan baik namun ternyata mencengkram dan menghisap kekayaan yang mengakibatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial di tengah limpahan kekayaan sumber daya alam.
Marilah kita perhatikan bangsa Indonesia yang kaya raya akan keragaman budaya, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Indonesia yang dikenal dengan sebutan zamrud khatulistiwa memiliki wilayah yang luas dan subur serta memiliki banyak sekali cawan-cawan emas (golden bowls) yang bernilai ratusan miliar dolar. Namun, luasnya wilayah dan limpahan kekayaan alam tidak menghilangkan angka kemiskinan yang sangat besar, pendidikan berkualitas semakin mahal,  kriminalitas meningkat, dan disintegrasi bangsa di beberapa daerah tak kunjung selesai. Selain itu di tengah kinerja pejabat publik yang rendah, penjarahan kekayaan negara melalui korupsi begitu akut dan sistemik dilakukan oleh segelintir  elite bangsa baik di pusat maupun di daerah.
Di tengah kondisi yang serba sulit, pemimpin kita malas berfikir dan menggantungkan hutang pada bangsa lain sehingga menimbulkan ketergantungan ekonomi. Para amangkurat  telah berhasil menukar undang-undang dengan uang pinjaman recehan. Contohnya; Undang-Undang Migas, Undang-Undang Privatisasi Air dan Undang-Undang Privatisasi BUMN. Akibatnya, 85,4% perusahaan energi berupa batu bara, minyak bumi dan gas alam dikuasai oleh asing. Kemudian anak-anak bangsa juga menderita dalam kemiskinan sehingga terpaksa harus rela menjadi budak orang di luar negeri. Tidak sedikit dari mereka yang pulang membawa derita.
Padahal cita-cita kemerdekaan mengamanatkan kita agar menjadi bangsa yang mandiri. Suatu bangsa akan mandiri jika pemimpinnya memiliki independensi dalam berfikir dan bertindak. Pemimpin berani mengelola sumber daya sendiri dan memilih jalan sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan. Sebagai contoh ialah bangsa jepang yang setelah luluh lantah karena bom kini telah bangkit menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia. Prestasi itu terwujud berkat pemimpinnya yang memiliki semangat kemandirian yang cukup besar.
Pada dasarnya banyak teori kepemimpinan yang menyarankan syarat-syarat pemimpin yang baik. Tetapi pemimpin nasional yang mampu memandirikan bangsanya setidaknya memiliki 4 (empat) sifat sebagai berikut ; Yang pertama, Pemimpin yang mampu memandirikan bangsanya ialah pemimpin yang menghidupkan kehidupan rakyatnya. Artinya ia mampu mengatur perekonomian rakyat dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Bukan pemimpin yang patuh di atur oleh Washington consensus dan merelakan rakyatnya menggantungkan hidup pada orang lain. Tetapi pemimpin yang berkarakter dan bangga terhadap budaya dan potensi lokal untuk dikembangkan menjadi kekuatan nasional. Sifat ini pula yang melekat pada diri Gajah Mada, Mahapatih yang mampu menghantarkan Majapahit kepada kajayaan di masanya.
Yang kedua, pemimpin yang memandirikan bangsa ialah pemimpin yang paham dan patuh pada UUD 1945. Sifat ini penting karena upaya mewujudkan kemandirian bangsa merupakan upaya mewujudkan cita-cita nasional dengan cara menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya telah digariskan dalam UUD 1945. Pemimpin nasional harus memahami dan menghayati dasar negara yang merupakan konstitusi dan berkedudukan sebagai hukum tertinggi. Upayanya mencapai kemandirian bangsa harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUD 1945. Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan kerangka bagaimana  menjalankan dan mempertahankan kedaulatan untuk mencapai kemandirian nasional. Oleh karena itulah agenda membangun kemandirian bangsa sesungguhnya dapat dilakukan dengan senantiasa berpegang teguh pada UUD 1945. Hal itu sesuai dengan fungsi konstitusi sebagai kitab suci simbolik yang merupakan dokumen pengendali dan dokumen perekayasa serta pembaruan ke arah masa depan.
Yang ketiga, Pemimpin nasional yang kita butuhkan saat ini untuk memandirikan bangsa ialah pemimpin yang memiliki nasionalisme. Kebanyakan pemimpin yang ada sekarang tidak merasa punya kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya. Kekuasaan dianggapnya sebagai imbalan atas kerja kerasnya selama pemilu. Rakyat hanya dibutuhkan ketika pemilu saja. Hal ini jauh berbeda dengan negara-negara yang maju di Asia Timur, para pemimpinnya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China), semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia), dan alasan survival (Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan).
Oleh karena itu kita membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa nasionalisme. Yang dimaksud nasionalisme di sini bukan nasionalisme yang hanya gencar berteriak membela timnas sepak bola saja tetapi juga memiliki semangat untuk menyelamatkan kekayaan Indonesia dari penjarahan korporasi asing demi mensejahterakan rakyat. Ia juga tegas dalam membela batas wilayah negaranya dan tidak mau dipermainkan oleh bangsa lain. Selain itu, Pemimpin yang memiliki nasionalisme yang kukuh akan membela kehormatan bangsanya walaupun di iming-imingi rayuan manis oleh penjajah modern.
Yang keempat, pemimpin bangsa yang mampu memandirikan bangsa ialah pemimpin yang memiliki semangat berkurban. Saat ini, sangat jarang kita temui pemimpin bangsa yang memiliki semangat berkurban tetapi yang ada adalah keserakahan dan kebakhilan. Indikasinya ialah merebaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di semua lini baik di pusat maupun daerah. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Natsir enam tahun setelah kemerdekaan  bahwa mereka (baca: bangsa Indonesia) bersorak-sorai meski rumah mereka dibakar dan anak istri mereka terbunuh. Tetapi sekarang telah mewabah penyakit bakhil dan serakah, dan tidak mau memperjuangkan cita-cita diluar dirinya lagi. Penyakit ini menular semakin banyak dan membentuk sistem yang akut. Oleh karena itu, spirit berkurban harus mulai ditanamkan kembali demi menghilangkan watak serakah dan bakhil ini.
Ingatlah, Kemerdekaan bangsa Indonesia menjadi tidak bermakna jika masih bergantung atau menuruti kehendak bangsa lain. Untuk mencapai kemandirian bangsa kita membutuhkan figur pemimpin yang hanya setia mengabdi kepada rakyatnya bukan mengemis utang dengan menggadaikan jutaan nasib rakyatnya pada bangsa lain. Dengan banyaknya media tentu kita bisa menilai mana pemimpin yang sungguh-sungguh pro rakyat dan mana pemimpin yang hanya sekedar pura-pura membela rakyat. Oleh karena itu, pada tahun 2014 nanti kita tidak boleh lagi memberikan mandat kepada pemimpin yang patuh pada bangsa lain tetapi pilihlah pemimpin nasional yang berani mengambil kebijakan yang memandirikan bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar