Di abad 21 ini, penguasaan
suatu negara atas negara lain tidak dilakukan secara langsung dengan mengangkat senjata dan menembaki penduduk
negeri. Tetapi sudah sangat halus yaitu dengan menciptakan ketergantungan di
bidang ekonomi yang menular pada bidang sosial dan politik. Hal ini lebih
membahayakan karena penjajahan ekonomi dengan cara ini akan mengaburkan
indikasi kejahatannya. Seakan-akan baik namun ternyata mencengkram dan
menghisap kekayaan yang mengakibatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial di tengah
limpahan kekayaan sumber daya alam.
Marilah kita perhatikan
bangsa Indonesia yang kaya raya akan keragaman budaya, sumber daya alam dan
sumber daya manusia. Indonesia yang dikenal dengan sebutan zamrud khatulistiwa memiliki
wilayah yang luas dan subur serta memiliki banyak sekali cawan-cawan emas (golden bowls) yang bernilai ratusan
miliar dolar. Namun, luasnya wilayah dan limpahan kekayaan alam tidak
menghilangkan angka kemiskinan yang sangat besar, pendidikan berkualitas
semakin mahal, kriminalitas meningkat, dan
disintegrasi bangsa di beberapa daerah tak kunjung selesai. Selain itu di tengah
kinerja pejabat publik yang rendah, penjarahan kekayaan negara melalui korupsi
begitu akut dan sistemik dilakukan oleh segelintir elite bangsa baik di pusat maupun di daerah.
Di tengah kondisi yang
serba sulit, pemimpin kita malas berfikir dan menggantungkan hutang pada bangsa
lain sehingga menimbulkan ketergantungan ekonomi. Para amangkurat telah berhasil
menukar undang-undang dengan uang pinjaman recehan. Contohnya; Undang-Undang
Migas, Undang-Undang Privatisasi Air dan Undang-Undang Privatisasi BUMN. Akibatnya,
85,4% perusahaan energi berupa batu bara, minyak bumi dan gas alam dikuasai
oleh asing. Kemudian anak-anak bangsa juga menderita dalam kemiskinan sehingga terpaksa
harus rela menjadi budak orang di luar negeri. Tidak sedikit dari mereka yang
pulang membawa derita.
Padahal cita-cita
kemerdekaan mengamanatkan kita agar menjadi bangsa yang mandiri. Suatu bangsa
akan mandiri jika pemimpinnya memiliki independensi dalam berfikir dan
bertindak. Pemimpin berani mengelola sumber daya sendiri dan memilih jalan
sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan. Sebagai contoh ialah bangsa jepang yang setelah
luluh lantah karena bom kini telah bangkit menjadi salah satu raksasa ekonomi
dunia. Prestasi itu terwujud berkat pemimpinnya yang memiliki semangat
kemandirian yang cukup besar.
Pada dasarnya banyak
teori kepemimpinan yang menyarankan syarat-syarat pemimpin yang baik. Tetapi
pemimpin nasional yang mampu memandirikan bangsanya setidaknya memiliki 4
(empat) sifat sebagai berikut ; Yang
pertama, Pemimpin yang mampu memandirikan bangsanya ialah pemimpin yang menghidupkan kehidupan rakyatnya.
Artinya ia mampu mengatur perekonomian rakyat dengan memanfaatkan segala
potensi yang ada. Bukan pemimpin yang patuh di atur oleh Washington consensus dan merelakan rakyatnya menggantungkan hidup
pada orang lain. Tetapi pemimpin yang berkarakter dan bangga terhadap budaya
dan potensi lokal untuk dikembangkan menjadi kekuatan nasional. Sifat ini pula
yang melekat pada diri Gajah Mada, Mahapatih yang mampu menghantarkan Majapahit
kepada kajayaan di masanya.
Yang kedua, pemimpin yang memandirikan bangsa ialah pemimpin yang paham dan patuh pada UUD 1945. Sifat
ini penting karena upaya mewujudkan kemandirian bangsa merupakan upaya mewujudkan
cita-cita nasional dengan cara menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya telah digariskan dalam UUD 1945.
Pemimpin nasional harus
memahami dan menghayati dasar negara yang merupakan
konstitusi dan
berkedudukan sebagai hukum tertinggi. Upayanya mencapai kemandirian bangsa harus
dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
UUD 1945. Ketentuan-ketentuan
tersebut memberikan kerangka bagaimana
menjalankan dan mempertahankan kedaulatan untuk mencapai kemandirian nasional. Oleh
karena itulah agenda membangun kemandirian bangsa sesungguhnya dapat
dilakukan dengan senantiasa berpegang teguh pada UUD 1945. Hal itu sesuai dengan fungsi konstitusi
sebagai kitab suci simbolik yang merupakan dokumen pengendali dan dokumen
perekayasa serta
pembaruan ke arah masa depan.
Yang ketiga, Pemimpin nasional yang kita butuhkan saat ini untuk
memandirikan bangsa ialah pemimpin yang memiliki nasionalisme. Kebanyakan pemimpin yang ada sekarang tidak merasa
punya kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya. Kekuasaan dianggapnya sebagai
imbalan atas kerja kerasnya selama pemilu. Rakyat hanya dibutuhkan ketika
pemilu saja. Hal ini jauh berbeda dengan negara-negara yang maju di Asia Timur,
para pemimpinnya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China),
semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia), dan alasan
survival (Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan).
Oleh karena itu kita
membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa nasionalisme. Yang dimaksud nasionalisme
di sini bukan nasionalisme yang hanya gencar berteriak membela timnas sepak
bola saja tetapi juga memiliki semangat untuk menyelamatkan kekayaan Indonesia
dari penjarahan korporasi asing demi mensejahterakan rakyat. Ia juga tegas
dalam membela batas wilayah negaranya dan tidak mau dipermainkan oleh bangsa
lain. Selain itu, Pemimpin yang memiliki nasionalisme yang kukuh akan membela
kehormatan bangsanya walaupun di iming-imingi rayuan manis oleh penjajah
modern.
Yang keempat, pemimpin bangsa yang mampu memandirikan bangsa ialah
pemimpin yang memiliki semangat
berkurban. Saat ini, sangat jarang kita temui pemimpin bangsa yang memiliki
semangat berkurban tetapi yang ada adalah keserakahan dan kebakhilan.
Indikasinya ialah merebaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di semua lini
baik di pusat maupun daerah. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang ditulis
oleh Natsir enam tahun setelah kemerdekaan bahwa mereka (baca: bangsa Indonesia)
bersorak-sorai meski rumah mereka dibakar dan anak istri mereka terbunuh.
Tetapi sekarang telah mewabah penyakit bakhil dan serakah, dan tidak mau
memperjuangkan cita-cita diluar dirinya lagi. Penyakit ini menular semakin
banyak dan membentuk sistem yang akut. Oleh karena itu, spirit berkurban harus
mulai ditanamkan kembali demi menghilangkan watak serakah dan bakhil ini.
Ingatlah, Kemerdekaan
bangsa Indonesia menjadi
tidak bermakna jika masih
bergantung atau menuruti kehendak bangsa lain. Untuk mencapai kemandirian bangsa kita membutuhkan
figur pemimpin yang hanya setia mengabdi kepada rakyatnya bukan mengemis utang
dengan menggadaikan jutaan nasib rakyatnya pada bangsa lain. Dengan banyaknya
media tentu kita bisa menilai mana pemimpin yang sungguh-sungguh pro rakyat dan
mana pemimpin yang hanya sekedar pura-pura membela rakyat. Oleh karena itu,
pada tahun 2014 nanti kita tidak boleh lagi memberikan mandat kepada pemimpin
yang patuh pada bangsa lain tetapi pilihlah pemimpin nasional yang berani mengambil
kebijakan yang memandirikan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar