The Journey
Minggu, 07 September 2014
Selasa, 19 Agustus 2014
Undangan Rapat Pengurus Alumni STKIP Islam Bumiayu
SEmangat Pagi !
Yth Pengurus Alumni Ikatan Alumni STKIP Islam Bumiayu, mohon kehadirannya pada acara Rapat Program Kepengurusan yang insya Allah akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal: Jum’at, 22 Agustus 2014
Pukul : 13.30 WIB
Tempat: Kampus STKIP Islam Bumiayu (Ruangan Menyusul)
Materi Pembahasan: Garis Besar Program Kerja, Perekrutan Anggota Baru dari alumni 2014, dan lain-lain.
Masing-masing Seksi Bidang dimohon membawa rancangan programnya untuk dibahas bersama-sama. Mengingat pentingnya acara tersebut, kami mohon agar datang tepat waktu.
Terima kasih.
Susunan Pengurus Alumni STKIP Islam Bumiayu
Ketua : Mohammad Arifin, S.Pd.
Wakil Ketua : Supriyatna, S.Pd.
Sekretaris I : Wiwin Aryani, S.Pd. (plt)
Sekretaris II : Anah Sofiyani, S.Pd.
Bendahara I : Euis Wulandari, S.Pd.
Bendahara II : Umi Uswatun, S.Pd.
Bidang Pendidikan:
1. Dyah Ayu Retnoningsing, S.Pd.
2. Eka Agustina, S.Pd.
Bidang Hubungan Kerjasama:
1. Riyayah, S.Pd.
2. Dwi Wiwin Istia Haeni, S.Pd.
Bidang Informasi & Komunikasi
1. Shobirin, S.Pd.
2. Efa Marina, S.Pd.
3. Nurida Fajarsari, S.Pd.
4. Khomarudin, S.Pd.
NB: Bagi yang di luar kota dan luar negeri mohon tetap menyumbangkan ide dan pemikirannya melalui seksi bidang masing-masing.
Yth Pengurus Alumni Ikatan Alumni STKIP Islam Bumiayu, mohon kehadirannya pada acara Rapat Program Kepengurusan yang insya Allah akan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal: Jum’at, 22 Agustus 2014
Pukul : 13.30 WIB
Tempat: Kampus STKIP Islam Bumiayu (Ruangan Menyusul)
Materi Pembahasan: Garis Besar Program Kerja, Perekrutan Anggota Baru dari alumni 2014, dan lain-lain.
Masing-masing Seksi Bidang dimohon membawa rancangan programnya untuk dibahas bersama-sama. Mengingat pentingnya acara tersebut, kami mohon agar datang tepat waktu.
Terima kasih.
Susunan Pengurus Alumni STKIP Islam Bumiayu
Ketua : Mohammad Arifin, S.Pd.
Wakil Ketua : Supriyatna, S.Pd.
Sekretaris I : Wiwin Aryani, S.Pd. (plt)
Sekretaris II : Anah Sofiyani, S.Pd.
Bendahara I : Euis Wulandari, S.Pd.
Bendahara II : Umi Uswatun, S.Pd.
Bidang Pendidikan:
1. Dyah Ayu Retnoningsing, S.Pd.
2. Eka Agustina, S.Pd.
Bidang Hubungan Kerjasama:
1. Riyayah, S.Pd.
2. Dwi Wiwin Istia Haeni, S.Pd.
Bidang Informasi & Komunikasi
1. Shobirin, S.Pd.
2. Efa Marina, S.Pd.
3. Nurida Fajarsari, S.Pd.
4. Khomarudin, S.Pd.
NB: Bagi yang di luar kota dan luar negeri mohon tetap menyumbangkan ide dan pemikirannya melalui seksi bidang masing-masing.
Senin, 06 Mei 2013
Sabtu, 01 Desember 2012
Pemimpin Nasional yang Memandirikan Bangsa
Di abad 21 ini, penguasaan
suatu negara atas negara lain tidak dilakukan secara langsung dengan mengangkat senjata dan menembaki penduduk
negeri. Tetapi sudah sangat halus yaitu dengan menciptakan ketergantungan di
bidang ekonomi yang menular pada bidang sosial dan politik. Hal ini lebih
membahayakan karena penjajahan ekonomi dengan cara ini akan mengaburkan
indikasi kejahatannya. Seakan-akan baik namun ternyata mencengkram dan
menghisap kekayaan yang mengakibatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial di tengah
limpahan kekayaan sumber daya alam.
Marilah kita perhatikan
bangsa Indonesia yang kaya raya akan keragaman budaya, sumber daya alam dan
sumber daya manusia. Indonesia yang dikenal dengan sebutan zamrud khatulistiwa memiliki
wilayah yang luas dan subur serta memiliki banyak sekali cawan-cawan emas (golden bowls) yang bernilai ratusan
miliar dolar. Namun, luasnya wilayah dan limpahan kekayaan alam tidak
menghilangkan angka kemiskinan yang sangat besar, pendidikan berkualitas
semakin mahal, kriminalitas meningkat, dan
disintegrasi bangsa di beberapa daerah tak kunjung selesai. Selain itu di tengah
kinerja pejabat publik yang rendah, penjarahan kekayaan negara melalui korupsi
begitu akut dan sistemik dilakukan oleh segelintir elite bangsa baik di pusat maupun di daerah.
Di tengah kondisi yang
serba sulit, pemimpin kita malas berfikir dan menggantungkan hutang pada bangsa
lain sehingga menimbulkan ketergantungan ekonomi. Para amangkurat telah berhasil
menukar undang-undang dengan uang pinjaman recehan. Contohnya; Undang-Undang
Migas, Undang-Undang Privatisasi Air dan Undang-Undang Privatisasi BUMN. Akibatnya,
85,4% perusahaan energi berupa batu bara, minyak bumi dan gas alam dikuasai
oleh asing. Kemudian anak-anak bangsa juga menderita dalam kemiskinan sehingga terpaksa
harus rela menjadi budak orang di luar negeri. Tidak sedikit dari mereka yang
pulang membawa derita.
Padahal cita-cita
kemerdekaan mengamanatkan kita agar menjadi bangsa yang mandiri. Suatu bangsa
akan mandiri jika pemimpinnya memiliki independensi dalam berfikir dan
bertindak. Pemimpin berani mengelola sumber daya sendiri dan memilih jalan
sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan. Sebagai contoh ialah bangsa jepang yang setelah
luluh lantah karena bom kini telah bangkit menjadi salah satu raksasa ekonomi
dunia. Prestasi itu terwujud berkat pemimpinnya yang memiliki semangat
kemandirian yang cukup besar.
Pada dasarnya banyak
teori kepemimpinan yang menyarankan syarat-syarat pemimpin yang baik. Tetapi
pemimpin nasional yang mampu memandirikan bangsanya setidaknya memiliki 4
(empat) sifat sebagai berikut ; Yang
pertama, Pemimpin yang mampu memandirikan bangsanya ialah pemimpin yang menghidupkan kehidupan rakyatnya.
Artinya ia mampu mengatur perekonomian rakyat dengan memanfaatkan segala
potensi yang ada. Bukan pemimpin yang patuh di atur oleh Washington consensus dan merelakan rakyatnya menggantungkan hidup
pada orang lain. Tetapi pemimpin yang berkarakter dan bangga terhadap budaya
dan potensi lokal untuk dikembangkan menjadi kekuatan nasional. Sifat ini pula
yang melekat pada diri Gajah Mada, Mahapatih yang mampu menghantarkan Majapahit
kepada kajayaan di masanya.
Yang kedua, pemimpin yang memandirikan bangsa ialah pemimpin yang paham dan patuh pada UUD 1945. Sifat
ini penting karena upaya mewujudkan kemandirian bangsa merupakan upaya mewujudkan
cita-cita nasional dengan cara menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagaimana prinsip-prinsip dasarnya telah digariskan dalam UUD 1945.
Pemimpin nasional harus
memahami dan menghayati dasar negara yang merupakan
konstitusi dan
berkedudukan sebagai hukum tertinggi. Upayanya mencapai kemandirian bangsa harus
dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
UUD 1945. Ketentuan-ketentuan
tersebut memberikan kerangka bagaimana
menjalankan dan mempertahankan kedaulatan untuk mencapai kemandirian nasional. Oleh
karena itulah agenda membangun kemandirian bangsa sesungguhnya dapat
dilakukan dengan senantiasa berpegang teguh pada UUD 1945. Hal itu sesuai dengan fungsi konstitusi
sebagai kitab suci simbolik yang merupakan dokumen pengendali dan dokumen
perekayasa serta
pembaruan ke arah masa depan.
Yang ketiga, Pemimpin nasional yang kita butuhkan saat ini untuk
memandirikan bangsa ialah pemimpin yang memiliki nasionalisme. Kebanyakan pemimpin yang ada sekarang tidak merasa
punya kewajiban untuk mensejahterakan rakyatnya. Kekuasaan dianggapnya sebagai
imbalan atas kerja kerasnya selama pemilu. Rakyat hanya dibutuhkan ketika
pemilu saja. Hal ini jauh berbeda dengan negara-negara yang maju di Asia Timur,
para pemimpinnya memiliki kewajiban sakral dan semangat bushido untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, baik karena alasan ideologis (China),
semangat nasionalisme dan kemandirian (Jepang dan Malaysia), dan alasan
survival (Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan).
Oleh karena itu kita
membutuhkan pemimpin yang memiliki jiwa nasionalisme. Yang dimaksud nasionalisme
di sini bukan nasionalisme yang hanya gencar berteriak membela timnas sepak
bola saja tetapi juga memiliki semangat untuk menyelamatkan kekayaan Indonesia
dari penjarahan korporasi asing demi mensejahterakan rakyat. Ia juga tegas
dalam membela batas wilayah negaranya dan tidak mau dipermainkan oleh bangsa
lain. Selain itu, Pemimpin yang memiliki nasionalisme yang kukuh akan membela
kehormatan bangsanya walaupun di iming-imingi rayuan manis oleh penjajah
modern.
Yang keempat, pemimpin bangsa yang mampu memandirikan bangsa ialah
pemimpin yang memiliki semangat
berkurban. Saat ini, sangat jarang kita temui pemimpin bangsa yang memiliki
semangat berkurban tetapi yang ada adalah keserakahan dan kebakhilan.
Indikasinya ialah merebaknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di semua lini
baik di pusat maupun daerah. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang ditulis
oleh Natsir enam tahun setelah kemerdekaan bahwa mereka (baca: bangsa Indonesia)
bersorak-sorai meski rumah mereka dibakar dan anak istri mereka terbunuh.
Tetapi sekarang telah mewabah penyakit bakhil dan serakah, dan tidak mau
memperjuangkan cita-cita diluar dirinya lagi. Penyakit ini menular semakin
banyak dan membentuk sistem yang akut. Oleh karena itu, spirit berkurban harus
mulai ditanamkan kembali demi menghilangkan watak serakah dan bakhil ini.
Ingatlah, Kemerdekaan
bangsa Indonesia menjadi
tidak bermakna jika masih
bergantung atau menuruti kehendak bangsa lain. Untuk mencapai kemandirian bangsa kita membutuhkan
figur pemimpin yang hanya setia mengabdi kepada rakyatnya bukan mengemis utang
dengan menggadaikan jutaan nasib rakyatnya pada bangsa lain. Dengan banyaknya
media tentu kita bisa menilai mana pemimpin yang sungguh-sungguh pro rakyat dan
mana pemimpin yang hanya sekedar pura-pura membela rakyat. Oleh karena itu,
pada tahun 2014 nanti kita tidak boleh lagi memberikan mandat kepada pemimpin
yang patuh pada bangsa lain tetapi pilihlah pemimpin nasional yang berani mengambil
kebijakan yang memandirikan bangsa.
PROFESI GURU DAN PENGAKUANNYA
Guru sebagai suatu
profesi di Indonesia masih dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) yang tingkat kematangannya belum sampai
seperti profesi-profesi lainnya, sehingga guru dikatakan sebagai profesi yang
belum sepenuhnya profesional. Banyak orang yang beranggapan bahwa pekerjaan
guru tidak perlu diakui sebagai pekerjaan profesional. Alasan mereka adalah
karena bidang pekerjaan guru dapat dilakukan oleh siapa saja yang memiliki
pendidikan yang cukup dan sedikit pengalaman mengajar. Selain itu dengan
dijadikan guru sebagai bidang pekerjaan profesi maka akan menambah beban negara
karena jumlah guru yang sangat besar.
Pendapat di atas tentu
kurang bijak. Mengingat pekerjaan guru bukanlah pekerjaan yang mudah karena
pendidik harus memahami karakteristik peserta didik, membaca potensinya dan
mengembangkanya secara optimal. Tanpa intervensi guru yang profesional potensi
peserta didik akan tetap menjadi potensi dan tidak akan muncul ke permukaan.
Menurut Oemar Hamalik (2009:6-7) profesi guru hendaknya dilihat dalam hubungan
yang luas. Sejumlah rekomendasi dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Peranan pendidikan harus dilihat
dalam konteks pembangunan secara menyeluruh, yang bertujuan membentuk manusia
sesuai dengan cita-cita bangsa. Pembangunan tidak mungkin berhasil jika tidak
melibatkan manusianya sebagai pelaku dan sekaligus sebagai tujuan pembangunan. Sistem
pendidikan dirancang dan dilaksanakan oleh orang-orang yang ahli dalam
bidangnya. Tanpa keahlian yang memadai maka pendidikan sulit berhasil. Keahlian
yang dimiliki oleh tenaga kependidikan, tidak dimiliki oleh warga masyarakat
pada umumnya, melainkan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang telah
menjalani pendidikan guru secara berencana dan sistemik.
2. Hasil pendidikan memang tak mungkin
dilihat dan dirasakan dalam waktu singkat, tetapi baru dapat dilihat dalam
jangka waktu yang lama, bahkan mungkin setelah satu generasi. Itu sebabnya
proses pendidikan tidak boleh keliru atau salah kendatipun hanya sedikit saja.
Kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bukan ahli dalam bidang pendidikan
dapat merusak satu generasi seterusnya dan akibatnya akan berlanjut terus. Itu
sebabnya tangan-tangan yang mengelola sistem pandidikan dari atas sampai ke
dalam kelas harus terdiri dari tenaga-tenaga profesional dalam bidang
pendidikan.
3. Sekolah suatu lembaga profesional.
Sekolah bertujuan membentuk anak didik menjadi manusia dewasa yang
berkepribadian matang dan tangguh, yang dapat dipertanggungjawabkan,
bertanggung jawab terhadap masyarakat dan terhadap dirinya. Para lulusan
sekolah pada waktunya harus mampu bekerja mengisi lapangan kerja yang ada.
Mereka harus dipersiapkan melalui program pendidikan di sekolah. Mereka tidak
cukup waktu dan kemampuan untuk mendidik anaknya sebagaimana yang diharapkan. Sebagian
tanggung jawab pendidikan anak-anak tersebut terletak di tangan para guru dan
tenaga kependidikan lainnya. Itu sebabnya para guru harus dididik dalam profesi
kependidikan, agar memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas
dan fungsinya secara efisien dan efektif. Hal ini hanya mungkin dilakukan jika
kedudukan, fungsi, dan peran guru diakui sebagai suatu profesi.
4. Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang
penuh pengabdian pada masyarakat, dan perlu ditata berdasarkan kode etik
tertentu. Kode etik itu mengatur bagaimana seorang guru harus bertingkah laku
sesuai dengan norma-norma pekerjaannya, baik dalam hubungan dengan anak
didiknya maupun dalam hubungan dengan teman sejawatnya.
5. Sebagai konsekuensi logis pertimbangan
tersebut, setiap guru harus memiliki komepetensi profesional, kompetensi
kepribadian, dan kompetensi kemasyarakatan. Dengan demikian dia memiliki
kewenangan mengajar untuk diberikan imbalan secara wajar sesuai dengan fungsi
dan tugasnya. Dengan demikian seorang calon guru seharusnya telah menempuh
program pendidikan guru pada suatu lembaga pendidikan tertentu.
Munculnya pengakuan guru
menjadi sebagai pekerjaan profesional tentu didasari alasan tertentu. Alasan
tersebutlah yang mendorong masyarakat melakukan profesionalisasi pekerjaan
guru. Menurut Mukhtar (2009:125) ada 3 (tiga) alasan mendasar mengapa guru
harus menjadi pekerjaan profesional, yaitu:
1. Karena guru bertanggung jawab
menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, beriman, bertaqwa dan
berilmu pengetahuan serta memahami teknologi.
2. Karena guru bertanggung jawab bagi
kelangsungan hidup suatu bangsa. Menyiapkan seorang pelajar untuk menjadi
seorang pemimpin masa depan. Student
today leader tomorrow.
3. Karena guru bertanggung jawab atas
keberlangsungan budaya dan peradaban suatu generasi. Change of attitude and behavior.
Secara yuridis pengakuan
secara pekerjaan profesional diawali dengan keluarnya UU Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu pada Pasal 39 Ayat (2) yang
menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Pasal 39 tersebut di
sambut dengan Deklarasi Guru sebagai Bidang Pekerjaan Profesi oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14 Desember 2004, setelah dua bulan
beliau dilantik. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 15
Desember 2005 diterbitkanlah UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen untuk memperkuat pengakuan guru
sebagai tenaga profesional.
Berdasarkan uraian di
atas maka dapat diambil kesimpulan mengenai hakikat profesi dan pengakuan
profesi guru. Profesi merupakan janji terbuka yang diucapkan dengan
sungguh-sungguh di hadapan orang lain, Tuhan dan diri sendiri karena idealisme
seseorang untuk mengabdi seumur hidup demi
mencapai kemaslahatan manusia. Kemudian jabatan guru telah mendapatkan
pengakuan secara yuridis melalui UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005 dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, profesi guru harus
mendapatkan tempat yang istimewa dibandingkan dengan posisi pekerjaan lainnya
yang bukan pekerjaan profesi.
SISI LAIN “KEBEBASAN”
Telah lama Bangsa Indonesia menghirup udara kebebasan. Lebih dari
setengah abad merah putih telah berkibar dengan gagahnya. Lepas dari
belenggu penjajah dan memperoleh kemerdekaan yang mendapat pengakuan
secara de facto maupun de yure.
Namun setelah kemerdekaan itu
diperoleh, Sistem politiknya lebih didominasi kepentingan kaum penguasa,
golongan elite atau pihak-pihak yang “dekat” dengan penguasa. Terutama
pada masa orde baru. Kenyataan yang berlangsung puluhan tahun itu
membuat rakyat menjadi “bosan” dan akhirnya pada bulan mei 1998 rakyat
membuat ekspansi
besar-besaran dan mulai menerapkan misi reformasi yang diusungnya.
Yakni, menuntut perbaikan di segala bidang, demokratisasi, dan
pengembalian kedaulatan secara penuh kepada rakyat.
Gerakan
reformasi yang mengubah system politik korporatis-otoriter menjadi
system politik plural-demokratis membuka kesempatan besar bagi
masyarakat untuk menyampaikan pendapat baik secara individual maupun
melalui partai politik, organisasi massa ataupun media massa. Aspirasi
dan kepentingan anggota masyarakat menjadi sangat dominan dan amat
menentukan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan peraturan public
(Undang-Undang Dasar, Undang-Undang hingga Peraturan Daerah dan
sebagainya). (Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin : 2006 )
Namun di
dalam penyampaian pendapat melalui aktivitas demontrasi dilakukan dengan
cara-cara yang tidak santun, cenderung brutal atau bersifat anarkis.
Sebagai contoh kasus tewasnya ketua DPRD akibat aksi demontran
brutal yang terjadi di salah satu daerah yang menginginkan adanya
pemekaran wilayah.
Di lain pihak bentrokan juga kerap terjadi
karena kesewenang-wenangan para penguasa daerah. Seperti contoh, kasus
kesewengan satpol PP dalam aksi razia Pedagang Kaki Lima (PKL), dan
razia Gepeng (gelandangan dan pengemis) yang sering terjadi di beberapa
daerah mengakibatkan bentrokan yang merugikan materi bahkan sampai
kehilangan nyawa. Bentrokan memperihatinkan yang terjadi baru-baru ini
ialah bentrokan antara masyarakat dan Satpol PP di tanjung priuk.
Bentrokan mengenai sengketa lahan itu bukan hanya mengakibatkan
kerusakan fasilitas Negara tetapi juga mengakibatkan tiga orang tewas di
pihak Satpol PP.
Belum lagi beberapa konflik yang terjadi di
antara aparat penegak hukum (TNI dan Polri). Akibatnya, timbul korban
berjatuhan, beberapa personil tewas sia-sia di antara anggota TNI dan
Polri. Padahal keduanya adalah Alat Negara yang mana
kebebasannya dibatasi secara ketat oleh fungsi dan tugas-tugasnya. Di
samping itu juga pembinaan pada personel TNI dan Polri tentang cinta
tanah air dan nilai-nilai persatuan bangsa serta kedisiplinan jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan pembinaan pada masyarakat sipil. Contoh
kasusnya ialah baku-tembak ditahun 2001 antara anggota polri dan
anggota kostrad TNI-AD di Madiun. Di tambah kasus bentrokan bersenjata
antara Satuan Brimob melawan Linud 100-TNI di Binjai yang mengakibatkan
beberapa orang tewas dengan sia-sia. Belum lagi kasus Konflik berdarah
di Musi Rawai Propinsi Sumatera Selatan yang menewaskan dua orang pada
tahun 2006. Menurut para pengamat militer konflik antara TNI dan Polri
terjadi karena belum memadainya kesiapan struktur dan mental, baik dalam
tubuh TNI maupun polri pasca penataan structural dan reformasi di
antara kedua lembaga tersebut.
Mengapa konflik-konflik kemanusiaan masih saja terus
terjadi padahal kebebasan sudah menjadi milik masyarakat luas…?.
Kebebasan
memang sudah menjadi milik masyarakat luas, namun itu hanyalah
kebebasan fisik saja. Banyak manusia terbelenggu oleh nafsunya yang
membuat hati menjadi brutal sehingga membuat manusia jauh dari
sifat-sifat mulia. Dr. Ary Ginanjar Agustian menggolongkan
belenggu-belenggu yang mengikat hati manusia sehingga cenderung brutal,
anarkis, dan egois menjadi tujuh macam belenggu. Belenggu-belenggu itu
adalah Prasangka; prinsip hidup; pengalaman; kepentingan; sudut pandang;
pembanding, dan literature-literatur.
Prasangka negatif
membuat masyarakat menjadi saling menjatuhkan di antara mereka baik
secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Prasangka negative
dapat menghilangkan sifat kasih sayang sesama manusia.
Prinsip
hidup membuat orang berambisi mengejar apa yang menurutnya dapat
mendatangkan kebahagiaan meskipun harus melanggar
norma-norma agama. Sebagai contoh, kisah romeo dan julliet yang
terjebak ke dalam kubangan cinta semu yang melanggar norma-norma agama.
Kemudian kasus pelajar senior STPDN yang mendewakan kedisplinan namun
menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga mengakibatkan tewasnya
manusia dengan sia-sia.
Pangalaman-pengalaman masa lalu yang
mendokrin hati dan pikiran manusia kerap kali membuat kita sulit
menerima nilai-nilai kebenaran. Kepentingan hidup yang menjadi prioritas
utama sering mengabaikan nilai kebenaran dan keadilan. Sudut pandang
yang materialistis mengantarkan manusia pada keinginan untuk menjalani
hidup gaya barat yang hedonis. Kebiasaan membanding-bandingkan antara
satu dengan yang lainnya membuat hati menjadi iri dan jauh dari sikap
bersyukur. Merebaknya literature atau bacaan yang menyesatkan pikiran
manusia telah mempengaruhi gaya interaksi di dalam masyarakat. Kesemua
belenggu hati dan pikiran yang mengikat pribadi manusia dalam
bermasyarakat telah merusak keseimbangan pola interaksi masyarakat yang
saling menyayangi.
Untuk lepas dari belenggu yang merampas
kebebasan hati dan pikiran manusia maka harus dimunculkan sifat-sifat
mulia. Sifa-sifat itu ialah cinta, kasih sayang, kemuliaan, keagungan,
kejujuran dan kedamaian. Sifat-sifat mulia seperti itu sebenarnya sudah
ada sejak lahir sebagai anugerah Tuhan YME. Namun sifat-sifat itu
seakan-akan lenyap karena tertutupi oleh nafsu yang menguasai diri.
Apabila
setiap diri memahami adanya belenggu yang mengikat hati dan pikiran,
yang menjadikan diri bersikap brutal, anarkis dan jauh dari nilai-nilai
kemanusiaan kemudian berupaya memunculkan sifat-sifat mulia manusia,
Sehingga kita dapat memperoleh kebebasan sejati. Yakni kebebasan fisik
dan kebebasan hati dan pikiran. Pada giliranya nanti akan terbentuk
pribadi-pribadi mulia yang menentramkan di dalam pergaulan
bermasyarakat dan
bernegara.
Kamis, 29 November 2012
Project Based Learning dalam Schoolpreneurship
Salah satu model pembelajaran dalam Schoolpreneurship yang dapat diandalkan ialah model project-based learning. Model ini berasal dari gagasan John Dewey berkaitan dengan konsep “Learning by Doing” yakni proses perolehan hasil belajar dengan mengerjakan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tujuannya, terutama penguasaan siswa tentang bagaimana melakukan sesuatu pekerjaan yang terdiri atas serangkaian tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan. Project-based learning (BIE dalam Waras Khamdi, 2007), adalah model pembelajaran yang berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang siswa bekerja secara otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk karya siswa bernilai, dan realistik.
I Wayan Santyasa (2006:11) mengidentifikasi bahwa project-based learning memiliki empat karakteristik, yaitu isi, kondisi, aktivitas dan hasil. Berikut deskripsi keempat karakteristik tersebut.
I. ISI: memuat gagasan yang orisinil
|
II. KONDISI: mengutamakan otonomi siswa
|
III. AKTIVITAS: investigasi kelompok kolaboratif
|
IV. HASIL: produk nyata
|
Project-based learning merupakan model pembelajaran yang diadaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran). Pendidikan medis menaruh perhatian besar terhadap fenomena praktisi medis muda yang memiliki pengetahuan faktual cukup tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller dalam Waras Khamdi, 2007). Setelah melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis dididik, pendidikan medis mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa ke dalam skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan. Proses ini kemudian dikenal sebagai pendekatan problem-based learning. Kini, problem-based learning diterapkan secara luas pada pendidikan medis di negara-negara maju (Waras Khamdi, 2007).
Tujuan model pembelajaran ini ialah melatih kemandirian kepada siswa. Peserta dilatih berfikir kritis, logis dan realistis agar memiliki kemandirian dalam memecahkan masalah seharai-hari. Project-based learning juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mengadakan hubungan dengan sesama siswa (soft skills). Selain itu, Project-based learning juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih bagian pekerjaan kelompok yang sesuai dengan kemampuan, keterampilan, kebutuhan dan minat masing-masing. Dengan demikian bentuk proses project-based learning merupakan bentuk pembelajaran yang otonom dan mandiri. Nilai kemandirian terlihat pada siswa jika Ia yang mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu.
Dalam menerapkan project-based learning, guru harus memperhatikan langkah-langkah implementasinya. Menurut I Wayan Santyasa (2006:12), implementasi project-based learning mengikuti lima langkah utama, yaitu sebagai berikut:
1. Menetapkan tema proyek
Tema proyek hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) memuat gagasan umum dan orisinil, (b) penting dan menarik, (c) mendeskripsikan masalah kompleks, (d) mencerminkan hubungan berbagai gagasan, (e) mengutamakan pemecahan masalah ill defined.
2. Menetapkan konteks belajar
Konteks belajar hendaknya memenuhi indikator-indikator berikut: (a) pertanyaan-pertanyaan proyek mempersoalkan masalah dunia nyata, (b) mengutamakan otonomi siswa, (c) melakukan inquiry dalam konteks masyarakat, (d) siswa mampu mengelola waktu secara efektif dan efisien, (e) siswa belajar penuh dengan kontrol diri, (f) mensimulasikan kerja secara profesional.
3. Merencanakan aktivitas-aktivitas
Pengalaman belajar terkait dengan merencanakan proyek adalah sebagai berikut: (a) membaca, (b) meneliti, (c) observasi, (d) interview, (e) merekam, (f) mengunjungi obyek yang berkaitan dengan proyek, (g) akses internet.
4. Memeroses aktivitas-aktivitas
Indikator-indikator memeroses aktivitas meliputi antara lain: (a) membuat sketsa, (b) melukiskan analisa, (c) menghitung, (d) men-generate, (e) mengembangkan prototipe.
5. Penerapan aktivitas-aktivitas untuk menyelesaikan proyek
Langkah-langkah yang dilakukan, adalah: (a) mencoba mengerjakan proyek berdasarkan sketsa, (b) menguji langkah-langkah yang telah dikerjakan dan hasil yang diperoleh, (c) mengevaluasi hasil yang telah diperoleh, (d) merevisi hasil yang telah diperoleh, (d) melakukan daur ulang proyek yang lain, dan (e) mengklasifikasi hasil terbaik.
Adria Steinberg (dalam Patton, 2012:40) telah mengembangkan seperangkat prinsip untuk membuat desain dalam project-based learning, dikenal dengan istilah The Six As. Prinsip ini sangat berpengaruh dalam menentukan level kualitas desain suatu proyek. Keenam prinsip itu adalah: (1) Authenticity (keautentikan); (2) Academic Rigor (ketaatan terhadap nilai akademik), (3) Applied Learning (belajar pada dunia nyata), (4) Active Exploration (aktif meneliti), (5) Adult Relationship (hubungan dengan ahli), dan (6) Assessment (penilaian).
Berikut ini beberapa pertanyaan penuntun menurut Made Wena (2010:151), yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk mendesain suatu proyek.
Langkah-Langkah | Pertanyaan Penuntun |
Keautentikan |
|
Ketaatan terhadap nilai akademik |
|
Belajar pada dunia nyata |
|
Aktif meneliti |
|
Hubungan dengan ahli |
|
Penilaian |
|
Dalam pembelajaran project-based learning, guru berkewajiban untuk memberikan bimbingan terhadap siswa. Adapun strategi pembimbingan yang dapat menjadi pedoman guru, menurut Made Wena (2010:157-159) ialah sebagai berikut:
Keautentikan
1. Mendorong dan membimbing siswa untuk memahami kebermaknaan dari tugas yang dikerjakan.
2. Merancang tugas siswa sesuai dengan kemampuannya sehingga ia mampu menyelesaikannya tepat waktu.
3. Mendorong dan membimbing siswa agar mampu menghasilkan sesuatu dari tugas yang dikerjakannya.
Ketaatan Terhadap Nilai-Nilai Akademik
1. Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu menerapkan berbagai pengetahuan/disiplin ilmu dalam menyelesaikan tugas yang dikerjakan.
2. Merancang dan mengembangkan tugas-tugas yang dapat memberi tantangan pada siswa untuk menggunakan berbagai metode dalam pemecahan masalah.
3. Mendorong dan membimbing siswa untuk mampu berfikir tingkat tinggi dalam pemecahan masalah.
Belajar pada Dunia Nyata
1. Mendorong dan membimbing siswa untuk mampu bekerja pada konteks permasalahan yang nyata yang ada di masyarakat.
2. Mendorong dan mengarahkan agar siswa mampu bekerja dalam situasi organisasi yang menggunakan teknologi tinggi.
3. Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu mengelola kemampuan ketrampilan pribadinya.
Aktif Meneliti
1. Mendorong dan mengarahkan siswa agar dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan jadwal yang telah dibuatnya.
2. Mendorong dan mengarahkan siswa untuk melakukan penelitian dengan berbagai macam metode, media dan berbagai sumber.
3. Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu berkomunikasi dengan orang lain, baik melalui presentasi ataupun media lain.
Hubungan dengan Ahli
1. Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mampu belajar dari orang lain yang memiliki pengetahuan yang relevan.
2. Mendorong dan mengarahkan siswa bekerja/berdiskusi dengan orang lain/temannya dalam memecahkan masalahnya.
3. Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajak/minta pihak luar untuk terlibat dalam menilai untuk kerjanya.
Penilaian
1. Mendorong dan mengarahkan siswa agar mampu melakukan evaluasi diri terhadap kinerjanya dalam mengerjakan tugasnya.
2. Mendorong dan mengarahkan siswa untuk mengajak pihak luar untuk terlibat dalam mengembangkan standar kerja yang terkait dengan tugasnya.
3. Mendorong dan mengarahkan siswa untuk menilai unjuk kerjanya.
Guru dapat memanfaatkan berbagai bentuk proyek sebagai pilihan dalam menerapkan project based learning. Tipe proyek dalam pembelajaran dapat berupa: pelajaran pelayanan, simulasi/permainan peran, penyusunan dan perancangan, pemecahan masalah, telekolaboratif, dan pencarian Website. Deskripsi tipe proyek di atas (http://id.shvoong.com...5P0jr) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pelajaran Pelayanan: Proyek seperti ini sering melibatkan masyarakat sekitar dan memperbolehkan para siswa untuk mengaplikasikan pelajaran yang telah dipelajari di dalam kelas pada situasi dunia nyata. Menyusun sebuah rencana untuk membersihkan saluran air di lingkungan sekitar atau merancang sebuah tempat bermain untuk taman di lingkungan sekitar merupakan beberapa contoh dari proyek pelajaran pelayanan.
2. Simulasi/Permainan Peran: Proyek-proyek seperti ini dirancang untuk memberikan para siswa pengalaman nyata dan personal. Para siswa memerankan orang lain atau melebur dalam lingkungan yang diperankan yang menciptakan kembali sebuah tempat dan waktu tertentu. Simulasi dan sandiwara merupakan cara yang sangat baik untuk membayangkan sejarah, memperoleh perspektif yang banyak, atau menciptakan empati. Siswa dapat memainkan peran pengusaha sukses yang awalnya menderita dalam membangun usahanya.
3. Penyusunan dan Perancangan: Proyek-proyek ini berdasarkan pada kebutuhan kehidupan nyata atau dapat diciptakan dengan membayangkan skenario. Proyek ini menuntut para siswa untuk membuat konstruksi sebenarnya atau merancang rencana untuk menciptakan solusi untuk masalah-masalah nyata. Contohnya siswa diarahkan untuk membuat konsep kantin kejujuran, membuat rencana usaha kecil-kecilan dan membuat rencana pembudidayaan.
4. Pemecahan Masalah: Ada beberapa proyek yang meminta siswa untuk menemukan solusi dari masalah dunia nyata. Proyek-proyek tersebut boleh menggunakan sebuah skenario khayalan atau sebuah dilema nyata. Masalah-masalah boleh melibatkan masalah sekolah atau masalah masyarakat sekitar sekolah, seperti: mengapa siswa lebih suka jajan dari pada menabung dan mengapa hasil penjualan kerajinan masyarakat turun drastis.
5. Telekolaboratif: Proyek-proyek ini merupakan tugas pendidikan online. Proyek ini memberikan pengalaman mempelajari dunia nyata ketika berkolaborasi secara online dengan kelas lain, para ahli, atau masyarakat. Misalnya siswa diberi tugas membuat situs di internet untuk mempromosikan sekolah atau kelasnya masing-masing.
6. Pencarian Website: Proyek ini merupakan aktifitas berorientasi penyidikan dimana sebagian atau seluruh informasi yang digunakan oleh para pelajar diperoleh dari sumber-sumber pada internet. Proyek ini dirancang untuk tambahan pengetahuan dan integrasi. Misalnya siswa diarahkan untuk mencari informasi terkait dengan materi pelajaran di sekolah.
Langganan:
Postingan (Atom)